Senin, 07 Maret 2011

Peran Amerika Serikat dalam konflik Darfur 2003-2008

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di tengah politik global yang tidak lagi unipolar, ditandai dengan berakhirnya Perang Dunia II membuat negara-negara bangsa memerdekakan diri terutama di wilayah Afrika, sibuk memperbaiki keadaan domestiknya yang hancur akibat penajajahan.

Berakhirnya Perang Dingin yang sempat membuat Amerika Serikat (AS) sebagai kekuatan unipolar menjadi indicator ancaman bagi eksistensi AS sebagai state actor dalam politik global karena actor-aktor internasional semakin banyak yang terlibat dalam isu-isu internasional yang juga semakin kompleks. Terlebih pada tahun 2001 AS diterpa serangan terorisme sehingga kewaspadaan AS meningkat drastis.

Dalam mempertahankan power, pengaruh dan kapabilitas yang AS miliki tentu memerlukan modal penggerak. Penulis sementara berasumsi bahwa salah satu penggerak bagi sector-sektor multidimensi AS adalah ekonomi dengan kebutuhan sumber daya energi sebagai salah satu pendorong AS untuk memainkan alat-alat mencakup multidimensi aspek dalam dunia internasional, salah satunya di Sudan sebagai salah satu penghasil minyak bumi, mineral, besi, mika, emas perak, energy air,uranium sebagai bahan pembuatan nuklir[1].

Konflik Darfur yang mulai tersohor tahun 2003 dianggap AS sebagai peluang untuk mendapatkan kepentingn nasionalnya di Sudan dengan berkontribusi dalam upaya penyelesaian konflik, serta penyebaran nilai-nilai yang AS anut.

Tulisan ini hanya akan menganalisa peran Amerika Serikat dalam konflik darfur. Pembahasan historis dan yang terjadi masa kini sebagai penjelas bagi pemaparan dalam tulisan ini. Batasan periodisasi pembahasan tulisan ini, yaitu sejak tahun 2003 ketika Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak hingga tahun 2008, saat terjadi krisis ekonomi dunia yang dipicu oleh AS.

Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan Apa saja kepentingan nasional Amerika Serikat terhadap konflik darfur ? lalu bagaimana strategi yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Darfur untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya ?

Perspektif Neo-Realis dalam Konflik

Konflik[2] dalam hubungan internasional merupakan masalah-masalah yang disebabkan oleh adanya ancaman terhadap kebutuhan dasar manusia di seluruh dunia. Konflik social menurut Kriesberg (1993)[3] merupakan hubungan antara dua atau lebih pihak yang memiliki tujuan berbeda sehingga tidak pernah rukun.

Faktor-faktor yang mendorong[4] terjadinya konflik diantaranya yaitu lingkungan sosialisasi, kebutuhan ekonomi, rasa tidak aman sebagai minoritas, perembutan sumber daya alam dan perbatasan paska penjajahan.

Salah satu instrument interaksi dalam hubungan internasional yaitu menjalankan intervensi. Intervensi menurut K.J Holsti, yaitu tindakan radikal terhadap Negara lain tanpa adanya izin dari pemerintah yang berkuasa melalui tindakan yang dapat berupa campur tangan diplomatiK, memamerkan kekuatan, pemberontakan atau subversi perang gerilya serta penggunaan kekuatan militer[5].

Dalam menganalisa peran Amerika Serikat dalam konflik Darfur, penulis menggunakan perspektif neo realis. Menurut Charles W. Kigley dan Eugene R.Wittkop[6], perspektif neorealis memandang bahwa, pertarungan posisi dan kekuasaan yang dialami oleh negara berlangsung dalam sistem yang anarkis, di mana keseimbangan teror, kesiapan dan penangkalan militer merupakan pendekatan yang dilakukan oleh negara.

Prospek global[7] dipandang dari sudut neo-realis secara pesimis, karena merupakan hal yang berlangsung dengan motif untuk memperoleh kekuasaan, prestise dan keuntungan relatif dibandingkan dengan negara lain, sehingga negara melakukan berbagai pilihan rasional, dalam kebijakan luar negerinya[8].

Dalam dimensi makro, politik luar negeri suatu negara tentu mempengaruhi kebijakan luar negeri yang dijalankannya, sebagaimana Graham Allison[9] menyampaikan bahwa ada tiga paradigma yang digunakan dalam menganalisa polugri suatu negara. Pertama, model aktor rasional yang dipengaruhi para pembuat keputusan, mereka yang cenderung monolitik. Kedua, model proses organisasional, bahwa organisasi yang berbeda pada suatu negara bertindak berdasarkan standar kapabilitas dan kebiasaan yang terkadang membatasi pemimpinnya dan penasehatnya dalam menentukan pilihan, serta model proses birokratis dalam pembuatan keputusan yang penting, yang terkadang menimbulkan intrik-intrik.

Disamping itu, K.J Holsti juga menyatakan bahwa kebijakan luar negeri merupakan tindakan atau gagasan yang dirancang oleh pembuat kebijakan untuk memecahkan masalah atau mempromosikan suatu perubahan dalam lingkungan melalui kebijakan, sikap atau tindakan negara lain, baik dalam hal militer, ekonomi, energi, tekhnik, lingkungan budaya juga kemanusiaan[10].

Meneropongi Sejarah

Secara historis, Darfur yang merupakan bagian dari Negara Sudan, merupakan wilayah jajahan yang terbentuk berdasarkan pembagian paksa Kolonial kepada wilayah-wilayah di Afrika termasuk Sudan yang dipecah menjadi Sudan Utara dan Selatan.

Akibat dekoloniasasi dengan system Westphalia[11], batasan ideology wilayah jajahan menjadi tidak jelas sehingga wilayahnya tidak stabil dan sarat akan konflik etnis, kepentingan, agama sehingga terjadi konflik Darfur yakni, kelompok minoritas Kristen di Darfur selatan melakukan perlawanan untuk memperjuangkan hak mereka di bawah pemerintahan Islam pimpinan Al-Bashir.

Sejak tahun 1990-an, AS memberika bantuan kepada Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SLPA) sebuah milisi Kristen yang dipimpin John Garang.. John Garang sempat dilatih dalam sekolah Pasukan Khusus AS di Fort Benning, Georgia. Darfur juga pernah bekerjasama dengan Kaum Yahudi[12] selama beberapa waktu, melalui suplai senjata dan pelatihan militer. Hingga kemudian konflik Darfur pada tahun 2003 terjadi lagi dan lebih menjadi sorotan internasional.

Dinamakan konflik Darfur karena konflik ini terjadi di Darfur merupakan propinsi yang luas di daerah Barat Sudan yang murni berpenduduk Muslim yang terdiri dari campuran Arab dan Afrika. Aktor-aktor dalam konflik ini diantaranya kelompok Janjaweed yang merupakan kelompok militer yang berisi orang-orang dari suku-suku Arab lokal dan suku-suku non-Arab di wilayah Darfur.

Dua kelompok pemberontak yang berperang di kawasan Darfur melawan pemerintah pusat di Khartoum pimpinan Presiden Omar al-Bashir yaitu Justice for Equality Movement ( JEM ) atau Harakah al-Adl wa al-Musawah (The Justice and Equality Movement / JEM), dibentuk suku Zaghawah yang mendapat sokongan penuh dari Chad. Pucuk komando JEM, Khalil Ibrahim, adalah asuhan Inggris yang terus menggencarkan pemberontakan dengan misi utama pemisahan Darfur dari Khartoum.

Lalu yang lebih besar Jaisy Tahrir al-Sudan atau Sudan People’s Liberation Army ( SPLA ) dibentuk oleh suku Fur, suku pribumi dan penduduk asli Darfur. Abdul Wahid Muhammad Nour, sekularis tulen yang setia pada pemerintah Prancis yang baru saja meresmikan cabang SLA di Israel beberapa waktu lalu memegang pimpinan.

Pada Juli 2002, Pemerintah Al-Bashir dan SPLA diwakili oleh John Garang mencapai kesepakatan seputar kekuasaan negara dan agama, serta hak menentukan nasib sendiri bagi Sudan Selatan. Dengan diakuinya kesepakatan itu, terbuka pintu lebar bagi provinsi dan daerah-daerah lain untuk menuntut hal yang sama.

Geopolitik dan Geostrategis Darfur

Amerika Serikat, dalam menjalankan polugrinya seiring dengan teori yang dikemukakan oleh Graham Allison bahwa AS menjalankan model actor rasional, proses organisasional dan birokratis dalam pembuatan kebijakannya yang bagi Henry Kissinger tentu kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Darfur merupakan perpanjangan tangan dari keadaan domestiknya.

Peran yang dimainkan AS dalam konflik Darfur merupakan bagian dari gabungan kedua visi polugri AS[13]. Visi pertama Primacy yaitu bagaimana mewujudkan kepentingan nasional AS melalui unjuk kekuatan ekonimi politik dan militer serta menyebarkan nilai-nilai ideology AS kepada seluruh dunia agar AS bisa tetap eksis dalam politik internasional dan visi kedua yaitu kemanan kooperatif.

Hal ini tercermin dalam peran AS dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ), di mana secara ekonomi AS termsuk penyumbang dan terbesar bagi dana operasional PBB dan badan-badannya, termasuk badan UNHCR, WHO, serta badan-badan lain yang menangani konflik Sudan seperti UNAMID, dan UNMIS.. Secara politis AS bermain dengan hak veto sebagai tamengya menjalankan keputusan, jika nantinya ada keputusan yang memberatkan AS dalam PBB terkait konflik Darfur.

AS menyebarkan nilai-nilai universal dan demokrasi tetap AS jalnkan dengan prinsip neo-realis, bahwa kerjasama atau keamanan kooperatif untuk kepentingan bersama melalui persebaran nilai-nilai tadi hanya akan terjadi jika menjadi tujuan dan sejalan dengan kepentingan nasional AS dengan 258 INGOs yang pasca konflik Darfur semakin menggiatkan kegiatannya membuktikan bahwa ada kepentingan besar yang AS.

Misalnya dahulu Presiden Jefferson Clinton berkata pada calon Presiden George Herbert Walker Bush dalam debat Presidennya pernah menggingatkan akan kepentingnan sumber-sumber energi masa depan di wilayah anatr Sudan dengan Chad[14].

Tahun 2003, AS dipimpin oleh Bush Junior dengan ancaman isu terosrisme sebagai pengalih perhatian AS. China sebagai actor yang bangkit secara perkeonomian menjalankan kebijakan agresif dengan lebih dari $ 1,3 triliun cadangan dolar terutama di Bank Sentral China tanpa harus mengandalkan diri pada Bank Dunia dan IMF seperti yang selalu AS lakukan, terlebih tahun 2008 lalu China telah deal menenam saham 45 % dengan Nigeria sebagai tetangga Sudan yang telah dianggap AS sebagai asset migas Washington, sehingga Beijing secara aktif terlibat dalam geopolitik perminyakan[15].

Selain itu, Perusahaan Minyak Nasional China-Beijing (CNPC), adalah investor asing terbesar di Sudan, Delapan persen minyak China kini berasal dari Sudan selatan. Cina membutuhkan 65% hingga 80% dari 500.000 barel/hari produksi minyak Sudan, hal ini tentu mengancam perusahaan minyak AS yang sejak tahun 1970-an telah menemukan cadangan minyak yang besar melalui satelit di Sudan Selatan[16].

Masalah di sini bukan hanya ekonomi saja, tetapi juga ideologi dengan timbal balik China yang memberikan hibah pada Sudan, AS khawatir kepentingan strategisnya di wilayah Afrika akan teganggu dengan kehadiran Chna yang secara tidak langsung akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianut oleh pemerintah Sudan.

AS meyakini banyak terdapat pengikut-pengikut Usama bin Laden yang ada di Sudan, sejak tahun 1993 AS dalam pernyataan hubungan nternasionalnya[17], telah menggolongkan Sudan sebagai Negara pendukung terorisme. Sehingga AS tidak melakukan bisnis dengan Sudan yang juga akan sulit mendapatkan pinjaman dari institus internasional, khususnya IMF dan Bank Dunia.

Strategi dan Aksi Amerika Serikat

Dalam Undang-Undang Dasar AS, mengakui adanya hak-hak individu. AS juga sebagai salah satu pelopor aid-tradition[18] dengan bergabung dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan mengamini kebutuhan kemanusiaan bagi Sudan terkai konflik Darfur. Selain itu, nilai-nilai universalitas dianggap sebagai penentu kesuksesan HAM[19].

AS terlibat menjalankan intervensi dalam konflik Darfur. Intervensi yang dilakukan AS dengan empat kelompok intervensi. Pertama, Intervensi dengan hubungan-hubungan social emosional, berkaitan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM yang marak AS suarakan. Lalu, ketiga kelompok intervensi lainnya berupa menjalin hubunga kekuasaan, hubungan perundingan, hubungan instrumental telah AS lakukan.

Genosida di Darfur AS lalui sebagai pintu masuk untuk intervensi ke Sudan sejak era Bush memimpin. Konsep genosida sendiri AS sebarkan melalui agen-agen serta INGOs yang dikendalikannya dengan penekanan intervene diperlukan untuk kemanusiaan. Jika genosida telah diterima sebagai masalah dunia, maka AS akan mengerahkan NATO untuk bergerak seperti halnya dengan politik minyak yang pernah terjaddi di Syiria[20].

AS juga mendukung pengadilan Kejahatan Internasional ( ICC ) perintah penangkapan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Beshir karena ketidakmampuannya untuk menangani dua kejahatan perang dan lima kejahatan kemanusiaan di Darfur[21].

Intervensi hubungan instrumental dilakukan AS dengan menggerakkan Dewan Keamanan PBB hingga PBB memutuskan untuk mengerahkan 2000 tentara peace keeping di Sudan, khususnya wilayah Sudan Selatan dengan mandate yang lebih kuat. PBB pada tahun 2004 mengeluarkan Resolusi 1556[22], setelah berkomunikasi dengan pemerintah Sudan, bahwa konflik Darfur dianggap sebagai bencana kemanusiaan yang memicu kekerasan terhadap perempuan, anak-anak dan terjadinya pengungisan, sehingga di wilayah Sudan perlu diamati oleh Internasional yang dipimpin oleh Uni Afrika, AS dan EU.

Selain PBB, AS juga berhasil melobi-lobi NATO berdasarkan resolusi pada bulan Februari 2006 untuk terlibat di Darfur. Sehingga, NATO menyediakan lahan dan angkatan udara pada tiga wilayah yang dianggap netral dan kawasan damai, yakni di Uganda, Chad, dan Ethiopia. Lobi-lobi AS pun tidak lepas dari bantuan Negara-negara lain yang telah bertukar kepentingan dengan AS, seperti Chad sebagai tetangga Sudan yang memiliki penduduk kesamaan etnis dengan minoritas di Sudan Selatan.

Dampak dari konflik Darfur memang rawan terhadap Chad, khususnya serta Negara tetangga Sudan laiinya mengingat banyaknya pengungsian yang bukan hanya berpotensi menimbulkan konfli baru, tetapi lebih jauh dapat berakibat jangka panjang. Apalagi epidemic penyakit dari para pengurngsi seperti diare, yang membunuh hingga 80 persen dari sekitar 300.000 pengungsi[23].

Momentum dan Kepentingan

As berhasil memanfaatkan momentum konflik Darfur sebagai pengalihan isu akan invasi yang sedang AS jalankan kepada Afghanistan dan Irak yang juga dianggap untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.

Samuel Huntington dengan teori benturan antar peradaban rupanya berhasil membuat AS panic, terlebih saat konflik Darfur mencapai klimaks, saat itu Sudan akan menerapkan hukum Islam, di mana konflik Palestina-Israel belum selesai mengingat AS memiliki pemerintah bayangan Yahudi, dan Islam yang di stereotype kan dengan teroris.

Pasir Darfur yang kaya uranium, lalu wilayah Darfur yang kaya emas hitam, posisi Sudan yang dekat dengan sungai nil menjadikan potensi sumber daya alam tesebut mendorong terjadinya konflik. Ketika AS tida memiliki sumber daya yang dapat mendukung pembangunan perekonomiannya, maka AS kan berusaha untuk bekerjasama dengan pemerintah di Darfur, akan tetapi jika pemertah Darfur tidak sepakat untuk bekerjasama atau bahkan belum ada celah untuk memasuki wilayah Darfur maka yang akan terjadi justru penggunaan stategi lain berupa pendekatan ekonomi, politik, serta militer.

Aktor-aktor rasional AS, Birokratis yang penuh intrik serta system organisasional telah mapan dijalankan oleh AS melalui politik luar negerinya. Hal ini dapat dikatakan wajar, karena AS sebagai Negara yang telah ratusan tahun berdiri dan mengalami dinamika. Sehingga cara-cara offensive pun dapat dilakukan dengan metode yang seolah defensive.

Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan kepentingan nasional Amerika Serikat terhadap konflik Darfur lebih dari sekedar kepentingan ekonomi akan sumber daya alam potensial dari Sudan umumnya, tetapi juga kepentingan politik dan social yang bukan berorientasi jangka pendek saja, tetapi berorientasi jangka panjang.

Strategi yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Darfur untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya yaitu strategi intervensi offensive yang seolah defensive.

AS melibatkan berbagai actor demi mencaapi kepentingan nasionalnya yang sangat neo-realis, yakni bekerjasama jika ada kepentingan saja. Aktor-aktor yang terlibat dalam pencapaian kepentingan AS berupa state actors sepert IGO terbesar PBB dan badan-badan turuanannya, NATO, AU dan Negara tetangga Sudan misalnya seperti Chad, Sedangkan actor non Negara yang AS libatkan berupa INGOs, MNC seperti Chevron, Exxon Mobil, kelompok militant atau separatis internal di Darfur.

Peran dari strategi AS terhadap konflik Darfur tentu sangatlah kompleks, di tengah globalisasi, AS masih memainkan peran untuk mempertahankan ekstensi power, kapabilitas dan pengaruhnya dalam dunia internasional dengan memanfaatkan momentum demi mencapai kepentingan nasional dengan dalih kepentingan internasional.



[2] W. Burton, John. Conflict Resolution-Language dan Processes. Maryland : Scarecrow Press Inc, 1996, page 47.

[3] _______, Social Conflict and Television News. California : Sage Library of Social Reasearch, 1993, vol.183.

[4] Ibid.

[5] Modul Politik Luar Negeri, Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta: 2008, hal 36-37.

[6] Jemandu, Alexius, “Politik Global dalam Teori dan Praktik”. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2008.

[7] Burchill Scott, Andrew Linklaker. Theories of International Relations. New York, ST Marthin’s Press, Inc : 1996.

[8] Ibid.

[9] Soerapto, R. Hubungan Internasional : Sistem, Interaksi dan Perilaku. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, hlm 200-201.

[10] Ayu Rindu. Syarifah Ida Farida. Laporan Hasil Penelitian Universitas Al Azhar Indonesia-Perkembangan Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi. Jakarta, 2009.

[11] Buzan, Barry. Ole Waever. Regoins and Powers-The Structure of International Security. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.

[13] Schmidt, Steffen W. American Government and Politics Today. New York : Wadsworth Publishing Company, 1999. 1999-2000 Edition.

[14] Ibid.

[15] Engdahl, William F. Cina - AS terlibat Perang Dingin Baru Berebut Kekayaan Minyak Afrika. dalam http://myquran.com/forum/entry.php/499-Politik-Minyak-AS-Dibalik-Konflik-Darfur-Sudan diakses pada 8 Januari 2011, pukul 22.15.

[16] Ibid.

[18] Rieff David. Humanitarian in Crisis. Foreign Affairs, Vol.81, No.6, hlm 111.

[19] T.Mathewws Jessica, Power Shift. Foreign Affairs, Vol.76, 1997, No.1, hlm 50-66.

[20] Ibid

[21] Ibid.

[22] http://daccess-ods.un.org/TMP/8578933.html diakses pada, 10 Januari 2011, pukul 21.05.

0 komentar: