Senin, 07 Maret 2011

Kebijakan Luar Negeri Israel terhadap Palestina : Analisis Peran Ariel Sharon (2001 – 2006 )

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Di tengah politik global yang tidak lagi unipolar, sejak tahun 1948 Israel berdiri, dalam keadaan anarkis dunia, tentu Israel berupaya untuk mempertahankan eksistensinya bahkan di hari pertama sejak kemerdekaan diperoleh Israel.

Pengaruh bangsa Yahudi dan kuatnya Zionisme membuat negara Israel berdiri pada wilayah yang telah dibagi melalui Deklarasi Balfour atas mandat Inggris, yaitu di wilayah Palestina. Keadaan ini memicu terjadinya konflik perebutan wilayah, karena Israel berusaha memperluas pengaruh pada 53% wilayah Palestina yang didapatkannya, sehingga konflik terjadi terus menerus, dalam jangka waktu yang lama.

Pada awal tahun 2001, dunia dikejutkan dengan serangan 911 terhadap Amerika Serikat, sebagai negara yang memegang pengaruh terbesar di dunia. Serangan tersebut diduga berasal dari teroris Afghanistan yang dipimpin oleh Osama bin Laden yang beragama Islam dan pernah merekrut tentara dari negara-negara Islam untuk melawan Soviet, sehingga negara-negara Islam di wilayah Timur Tengah khususnya dan di dunia umumnya menjadi fokus perhatian yang diwaspadai Amerika, termasuk Palestina dengan gerakan intifadah yang dilakukannya.

Apalagi, Amerika Serikat merupakan negara pertama yang mengakui berdirinya negara Israel, dan Israel pun turut membantu AS dalam kebijakannya terhadap negara-negara islam maupun yang berpenduduk muslim, sehingga konflik Palestina dan Israel juga mendapat kesan bukan hanya konflik wilayah, tetapi juga konflik antar agama.

Terpilihnya Ariel Sharaon sebagai Perdana Menteri Israel pada tahun 2001, tentu mempengaruhi arah kebijakan luar negeri yang Israel lakukan, khususnya terhadap Palestina yang telah bertahun-tahun terlibat konflik dengan Israel.

I.2 Pembatasan Masalah

Paper ini hanya akan menganalisa karakteristik Ariel Sharaon sebagai individu dalam mempimpin Israel sebagai negara bangsa, dan unit eksplanasi terkait kebijakan yang dilakukannya bagi Palestina yaitu Israel sebagai negara bangsa. Pembahasan historis dan yang terjadi masa kini sebagai penjelas bagi pemaparan dalam tulisan ini

Batasan periodisasi sejak tahun 2001 hingga 2006, karena saat itulah Ariel Sharaon menjabat sebagai Perdana Menteri Israel, tepatnya mulai 7 Maret 2001 hingga 14 April 2006.

I.3 Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dijawab dalam paper ini yaitu :

- faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi Ariel Sharon dalam membuat kebijakan luar negeri Israel terhadap Palestina pada tahun 2001hingga tahun 2006 ?

- kebijakan luar negeri apa sajakah yang diputuskan oleh Ariel Sharon terhadap Palestina pada tahun 2001hingga tahun 2006?

I.4 Kerangka Pemikiran

Dalam menganalisa kepemimpinan Ariel Sharon dalam menentukan kebijakan luar negeri Israel, penulis menggunakan perspektif neo realis. Menurut Charles W. Kigley dan Eugene R.Wittkop[1], perspektif neorealis memandang bahwa, pertarungan posisi dan kekuasaan yang dialami oleh negara berlangsung dalam sistem yang anarkis, di mana keseimbangan teror, kesiapan dan penangkalan militer merupakan pendekatan yang dilakukan oleh negara.

Prospek global dipandang secara pesimis, karena merupakan hal yang berlangsung dengan motif untuk memperoleh kekuasaan, prestise dan keuntungan relatif dibandingkan dengan negara lain, sehingga negara melakukan berbagai pilihan rasional, dalam kebijakan luar negerinya[2].

Dalam dimensi makro, politik luar negeri suatu negara tentu mempengaruhi kebijakan luar negeri yang dijalankannya, sebagaimana Graham Allison[3] menyampaikan bahwa ada tiga paradigma yang digunakan dalam menganalisa polugri suatu negara. Pertama, model aktor rasional yang dipengaruhi para pembuat keputusan, mereka yang cenderung monolitik. Kedua, model proses organisasional, bahwa organisasi yang berbeda pada suatu negara bertindak berdasarkan standar kapabilitas dan kebiasaan yang terkadang membatasi pemimpinnya dan penasehatnya dalam menentukan pilihan, serta model proses birokratis dalam pembuatan keputusan yang penting, yang terkadang menimbulkan intrik-intrik.

James N. Rossenau juga mengamini kaitan antara polugri dengan kebijakan luar negeri dengan menyatakan bahwa ada lima variabel yang dapat mempengaruhi politik luar negeri suatu negara. Pertama, yaitu variabel ideosinkretik, berkaitan dengan karakter psikologis dan imaji pembuat keputusan negara. Kedua, variabel peranan, sebagai aturan-aturan perilaku yang diharapkan seseorang sesuai dengan pekerjaannya. Ketiga variabel birokratis, meliputi struktur dan proses pemerintahan yang berjalan. Keempat, variabel sistemile yang memperhatikan lingkungan eksternal yang menuntut suatu keadaan bagi suatu negara, dan kelima variabel nasional yang meliputi atribut negara yang dipaparkan lebih dalam oleh Cuolombus dan Wolfe mencakup variabel lingkungan, kependudukan, politik, ekonomi, dan sosial[4].

Disamping itu, K.J Holsti juga menyatakan bahwa kebijakan luar negeri merupakan tindakan atau gagasan yang dirancang oleh pembuat kebijakan untuk memecahkan masalah atau mempromosikan suatu perubahan dalam lingkungan melalui kebijakan, sikap atau tindakan negara lain, baik dalam hal militer, ekonomi, energi, tekhnik, lingkungan budaya juga kemanusiaan[5].

I.5 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka, buku dan internet. Dengan sudut pandang historis ntuk menjelaskan yang terjadi dalam periode penelitian, sehingga penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Biografi Singkat Ariel Sharaon

Terlahir di Kfar Malal (British mandate of Palestine) pada tanggal, 27 Februari 1928 dari sebuah keluarga pendukung gerakan Zionis. yang menamakannya Ariel Scheinermann (Shinerman atau Arik) dalam Bahasa Ibrani : אֲרִיאֵל שָׁרוֹן[6]. Meskiupun ibunya lebih lancar berbahasa Rusia daripada Ibrani, ia sendiri berkewarganegaraan Israel.

Sejak 18 Desember 2005, ia menderita stroke minor, sempat dirawat dan membaik, tetapi pada 4 Januari 2006, ia mengalami stroke dan pendarahan otak hingga harus dioperasi dan koma dalam waktu yang lama, hingga ia tidak dapat menjaankan tugas pemerintahan lagi dan secara konstitusi, Ehud Olmert sebagai Deputi Perdana Menteri yang turun menggantikannya[7].

II.2 Karier Politik dan Militer Ariel Sharaon

Pada usia 17 tahun, Ariel bergabung dengan kelompok mafia peneror rakyat Palestina, Haganah. Kegiatannya dalam Haganah berlangsung selama Israel dipimpin oleh Perdana Menteri David Ben Gurion, Itzhak Shamir, dan Yitzhak Rabin[8].

Pada masa perang kemerdekaan Israel tahun 1948, di usianya yang ke-20, ia dipercaya sebagai komandan infantri Israel dalam Brigade Alexandroni. Pada tahun itu juga, ia melanjutkan studi di bidang hukum di Universitas Ibrani di Yerusalem. Tahun1953, ia membentuk sekaligus memimpin unit komando khusus "Unit 101" dengan bertugas menjalankan operasi-operasi khusus tingkat tinggi. Kemudian ia diangkat sebagai komandan dari korps para-komando dan terlibat dalam perang perebutan Sinai pada tahun 1956 dengan Mesir. Lalu, tahun 1957, ia meneruskan pendidikan kemiliterannya di Camberley Staff College, Inggris.

Selama tahun 1958-1962, Sharon pernah menjadi komandan Brigade Infantri, memimpin Pusat Pendidikan Infantri dan mengikuti sekolah hukum di Universitas Tel Aviv. Pada Perang Enam Hari tahun 1967 yang melibatkan Israel melawan bangsa Arab, ia menjabat sebagai komandan sebuah divisi tentara dengan jabatan sebagai Brigadir Jenderal. Kemudian, ia mengundurkan diri dari dinas ketentaraan di tahun 1972. Ketika terjadi Perang Yom Kippur pada tahun 1973, ia dipanggil untuk memimpin divisi tentara yang harus menyeberangi Terusan Suez[9].

Saat menjabat sebagai Menteri Perumahan, dengan brutal ia menggusur perumahan rakyat Palestina dan menggantikannya dengan pemukiman kaum Yahudi. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan Israel sejak tahun 1981 hingga 1983, kemudian menjadi Menteri Perdagangan dan Industri mulai tahun1984 hingga tahun 1990.

Sharaon sempat bergabung dalam kabinet Benyamin Netanyahu sebagai Menteri Infrastruktur nasional tahun 1996 hingga tahun 1998,. Pada tahun 1998 hingga 1999 ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Israel sekaligus menjadi ketua Partai Likud sejak tahun 1999 hingga tahun 2005 yang membawanya terpilih sebagai Perdana Menteri Israel pada tahun 2001 menggantikan Ehud Barak. Tahun 2005 ia mendirikan partai baru, Kadima setelah keluar dari Likud sekaligus menjabat sebagai ketua Partai Kadima hingga tahun 2006[10].

II.3 Karakteristik Ariel Sharaon dalam Memimpin Israel

Dalam kutipan yang dilakukan oleh Bobinski terhadap William Marson yang terpinspirasi oleh Hippocrates, dinyatakan bahwa William Marson mengelompokkan empat tipe pemimpin, yaitu tipe D (Dominance), I (Influencing), S (Steadiness), dan C (Compliance)[11].

Dari keempat tipe tersebut, Ariel Sharaon termasuk dalam tipe D atau dominance karena ia mampu menguasai situasi, seorang inisiator yang menyukai tantangan dan tidak menyukai kedaan status quo, tegas, ambisius dan berorientasi pada tugas.

Hal ini dapat dilihat dari riwayat karirnya baik dalam politik, maupun militer. Mulai dari anggota mafia, pasukan bersenjata, menteri pertahanan hingga memegang jabatan sebagai Perdana Menteri Israel.

Ariel teguh dalam melakukan proses demi proses untuk memperoleh peningkatan posisi secara militer, dan tentunya menuntut kedisiplinan yang tinggi dalam bertingkah laku, serta komitmen dalam menjalankan tugas yang dilimpahkan padanya.

Ariel Sharon merupakan salah satu figur yang diingat publik internasional. Sharon pernah memimpin pembantaian di Shabra dan Shatilla, kamp pengungsi Palestina di Beirut barat, Lebanon, pada 16 September 1982. Saat itu terjadi pembersihan etnik yang membunuh sekitar 500 orang tak berdosa dibawah kendali Ariel Sharon selaku Menteri Pertahanan di dalam kabinet Menachem Begin, yang merupakan saudara jauhnya. Bahkan, rencana itu telah disusun tanpa sedemikian rupa tanpa sepengetahuan dari Knesset atau istilah bagi parlemen Israel[12], hal ini yang kemudian sempat membuatnya dituntut ke Mahkamah Internasional oleh George Sluizer, sutradara keturunan Yahudi-Belanda.
Saat Sharon mengambil-alih kepemimpinan Partai Likud, ia menentang berbagai upaya perdamaian yang diinisiasi oleh Ehud Barak, Perdana Menteri Israel (1999-2001) dari Partai Buruh, hal ini menunjukkan sikapnya yang cenderung monolitik, serta mondominasi.

Sebagai bentuk pertentangannya, ia melakukan aksi demonstratif kontroversial dengan mengunjungi Masjidil Aqsa (Al-Haram Al-Sharf ) dalam kawalan ketat 1.000 tentara Israel siap tempur. Hal ini tentu memicu berbagai reaksi, ada yang menyatakan iani sebagai bentuk penghinaan agama, ada pula yang menyatakan bahwa hal ini menantang untuk berperang secara tidak langsung.
Sewaktu menjabat sebagai perwira muda pun, Sharon dengan Unit 101 (bentukannya pada 1950) sempat melakukan pembangkangan dari strategi Menteri Pertahanan Moshe Dayan dengan menerjunkan pasukan di Malta Pasha, Semenanjung Sinai, dekat Terusan Suez, tanpa sepengetahuan Moshe Dayan. Akibatnya, 38 anak buah dari pasukan elit korban itu tewas, 120 lainnya luka-luka[13] dan terus memasuki perkampungan Gibya, pasukannya kemudian membantai 69 warga Arab, ironisnya kebanyakan korban adalah anak-anak dan perempuan.

II.3 Kebijakan Luar Negeri Israel terhadap Palestina di tangan Ariel Sharaon

Desember 2001, konflik verbal dan militer terjadi antara Israel dan Pelestina yang sedang dipimpin oleh Yassir Arafat. Diikuti dengan beberapa serangan teroris dari Palestina kepada masyarakat sipil Israel, melalui gerakan intifada kedua sehingga Sharon mengeluarkan isntruksi untuk membalasnya dan menghancurkan infrastruktur Palestina, membunuh teroris serta masyarakat sipil Palestina pula.

Maret 2002, Raja Arab Abdullah membuat kebijakan yang mendesak Israel untuk mengakui otoritas pemerintahan Palestina. Wacana perdamaian Israel-Palestina telah digaungkan oleh actor-aktor regional seperti Uni Eropa, PBB, serta actor negara seperti Amerika Serikat dan Rusia yang bertemu untuk membahas masalah Israel dan Palestina pada tanggal 17 September 2002. Israel sendiri menanggapi hal itu dengan meninggalkan 14 reservasi dalam forum multilkateral itu, atau dapat dikatakan ketidakikutsertaan Israel dalam memutuskan keempatbelas poin tersebut.

Dalam 4th Herzliya Conference 19 Desember 2003, Sharon melakukan upaya voting akan isu referendum bagi Palestina, yang diumumkan pada 2 May, 2004 dengan hasil 65% tidak sepakat dengan disengagement plan. Pada September diadakan jejak pendapat lagi dengan hasil 69% mendukung rakyat harus ikut andil dalam pembuatan keputusan, sedangkan 26% menganggap itu sebagai keputusan parlemen. Jika pemilihan akan dilaksanakan, 58% menyepakati rencana pelepasan, sedangkan 29% tidak setuju. Dimana rentang alam kabinet yang setuju 50-60% sedangkan oposisi 30-40%.

Tetapi Juni 2004, Ariel Sharon mengajukan kebijakan unilateral disengagement plan kepada Palestina, atau disebut juga sebagai Gaza expulsion plan atau Hitnatkut yang kemudian tetap direalisasikan oleh parlemen Israel (Knesset)[14] pada tahun 2005. Melalui kebijakan tersebut, terlihat perhitungan yang telah Israel lakukan sebelum meluncurkan kebijakan luar negeri yang dianggap sebagai salah satu langkah untuk meredakan konflik antara Palestina dengan Israel.

Kebijakan itu dengan catatan yang menyatakan bahwa 21 pemukiman Israel yang berada di wilayah jalur Gaza yang terdiri dari wilayah Bedolah, Bnei Atzmon (Atzmona), Dugit, Elei Sinai, Gadid, Gan Or, Ganei Tal, Katif, Kfar DaromKfar Yam, Kerem Atzmona, Morag, Neveh Dekalim, Netzarim, Netzer Hazani, Nisanit, Pe'at Sade, Rafiah Yam, SlavShirat Hayam dan Tel Katifa, serta 4 pemukiman Israel di tepi barat (West Bank) yang terdiri dari wilayah Kadim, Ganim, Homesh, Sa-Nur ditarik dan dihancurkan, termasuk kehadiran sipil.

Tetapi Israel akan melakukan pengawasan dan pengkawalan kantong-kanting eksternal di darat, melakukan control eksklusif terhadap wilayah utara Gaza dan kegiatan militer di wilayah laut dari jalur Gaza akan tetap berlangsung. Masyarakat Israel yang tinggal dalam pemukiman tersebut juga menolak kompensasi yang diberikan oleh pemerintah mereka dalam batas waktu hingga 15 Agustus 2005[15].

Kebijakan ini membuat Sharon terdesak dari dalam negeri karena dianggap controversial untuk mendekati jalan damai dengan Palestina, hingga pada tahun 20 November 2005 ia mengundurkan diri dari partai Likud dan membentuk partai baru, Kadima. Dengan partai baru ini, Ariel Sharon sempat datang ke Red Sea Summit di Aqaba, Yordania, untuk berunding dengan Mahmoud Abbas, presiden Palestina.

Pada 8 April 2005, Menteri Pertahanan Israel Shaul Mofaz menyatakan bahwa kebijakan ini tentu memakan biaya yang besar karena Sharon menginginkan penghancuran seluruh gedung.

Penarikan tersebut secara tidak langsung menguntungkan bahi Israel, karena mereka dapat membentuk basis pertahanan dengan memberikan batasan-batasan yang dikehdendaki oleh mereka. 15 Augustus, proses evakuasi dimulai diiringi dengan pengamanan militer dimulai dengan 14,000 tentara Israel. Proses ini tidak mudah, terjadi beberapa penolakan dan perlawanan dari rakyat Israel sendiri dengan polisi-polisinya, pada 23 Agustus evakuasi keempat markas di West Bank selesai.

Sementara Sharon melalui stafnya menyatakan pentingya rencana pemisahan yang telah dilakukan adalah untuk membekukan proses untuk mencegah pendirian negara Palestina, diskusi terkait pengungsi perbatasan dan Yerussalem.

The unilateral disengagement plan mendapatkan banyak kritik. Di Israel sendiri, Sharon dianggap sebagai penghianat atas pendukungnya dan janji dalam kampanyenya untuk meningkatkan kekuatran Israel, kebijakan ini juga tidak mengubah keadaan Israel secara ekonomi. Kebijakan ini mempermalukan Israel, terlalu terburu-buru, hanya memikirkan bagaimana mewujudkan kebijakannya, tanpa perencanaan yang baik dan tanpa memikirkan keadaan penduduk yang diungsikan, pada bulan-bulan awal diungsikan, penduduk menempati hotel dan wisma tamu, bahkan hingga April 2006.

Perdebatan lainnya yaitu kompensasi moneter. April 2006, uang muka yang diberikan pada pengungsi hanya sekitar $10,000 per keluarga hingga mereka mendapatkan pekerjaan, sedangkan saat itu sulit sekali untuk mencari pekerjaan, terlebih sektor agrikultur yang menjadi andalan mereka telah rusak karena konflik. Masa depan para pengungsi itu menjadi tidak menentu, bantuan yang pemerintah berikan pun tidak merata.

II.4 Reaksi Dunia Internasional

The Disengagement Plan juda mendapat kritik dari pihak luar, misalnya European Union yang menyatakan bahwa usaha itu harus sesuai dengan road map pada UN Security Council[16], yang mereka sayangkan yaitu tidak terjadinya penyelesaian menyeluruh di West Bank, sementara jalur Gaza diberikan pada otoritas Palestina sebagai teritori yang tidak menarik secara ekonomi, dengan populasi sekitar 1.4 juta muslim, hal ini dianggap sebagai ancaman bagi identitas Yahudi dalam negara Israel yang demokratis, EU tidak mngakui perubahan batas selain kesepakatan tahun 1967. Meskipun, sebelulnya EU sepakat dengan dibentuknya rencana disengagement, tetapi harus engan prosedur yang jelas.

AS mengaggap kebijakan mengakat pasukan di Gaza dan West Bank ini merupakan langkah yang baik dan berani oleh Sharon untuk mendekati perdamaian dengan Palestina yang diharapkan menerima tawaran Israel, hal ini disampaikan oleh George Bush dalam joint press conference dengan Ariel Sharon pada 11April 2005.

Kepada Palestina, dalam joint press conference Bush dengan Mahmoud Abbas, bahkan AS menyediakan dana $50juta untuk membantu perumahan dan infrastruktur di Gaza, dan kesepakatan akhir genjatan senjata harus disepakati oleh kedua belah pihak[17].

Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Anan pada Agusntus 2005 sepakat dengan pernyataan Bush bahwa Sharon melakukan pengambilan keputusan yang berani, dan ia berharap pelepasan wilayah itu dapat membuka jalan perdamaian.[18]

II.5 Reaksi Palestina dan Internal Israel

Dari sudut andang Palestina sendiri, dipenuhi dengan tanda tanya karena Sharon yang notabene keras dalam bertindak tiba-tiba membuat kebijakan seperti itu, apalagimereka mengetahui informasi yang menyatakan bahwa negara Palestina akan tertunda pembentukannya melalui kebijakan ini. Agustus 2005, media Haaretz memuat pernyataan tokok berpengaruh di Palestina Sheikh Jamal al-Bawatna, mufti dari wilayah Ramallah yang mengeluarkan fatwa yang melarang penembakan kepada tentara Israel agar tidak terjadi penundaan pemindahan.[19]

Kebijakan itu membuat beberapa blokade sebagai bentuk protes publik Israel di lebih dari 40 persimpangan jalan. Salahsatunya, yaitu jalan menuju Yerussalem. Mereka melakukan itu dengan beberapa alasan, diantaranya yaitu pernyataan Tuhan bahwa tidak ada yang boleh melepaskan wilayah yang Tuhan berikan atas Israel, dari sisi militer hal itu dianggap bahaya karena posisi roket HAMAS semakin dekat dengan Israel, mereka mengelompokkan diri dalam gerakan pita oranye yang menentang kebijakan.

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi Ariel Sharon dalam membuat kebijakan luar negeri Israel terhadap Palestina pada tahun 2001 hingga tahun 2006 yaitu dipengaruhi oleh karakter pribadi Sharon sebagai variabel ideosinkretik, situasi internasional yang harus dihadapi Israel, sebagai variabel sistemile, serta variabel nasional berupa dinamika politik domestik Israel serta intrik-intrtik birokratis.

Kebijakan luar negeri yang diputuskan oleh Ariel Sharon terhadap Palestina pada tahun 2001 hingga tahun 2006 yaitu disengagement plan di wilayah Gaza dan Tepi Barat yang mengundan kontroversi baik bagi internal Israel serta reaksi dari dunia internasional.



[1] Jemandu, Alexius, “Politik Global dalam Teori dan Praktik”. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2008.

[2] Ibid.

[3] Soerapto, R. Hubungan Internasional : Sistem, Interaksi dan Perilaku. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, hlm 200-201.

[4] Ibid. Soerapto, r. Hlm 189-197

[5] Ayu Rindu. Syarifah Ida Farida. Laporan Hasil Penelitian Universitas Al Azhar Indonesia-Perkembangan Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi. Jakarta, 2009.

[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Ariel_Sharon diakses pada 23 November 2010, pukul 23.05.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] http://i-cias.com/e.o/sharon_ariel.htm diakses pada 23 November 2010, pukul 23.10.

[11] Lesmana, Tjipta. Dari Soekarno sampai SBY-Intrik & Lobi Penguasa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2009.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Irawan Agus. Rahasia Dendam Israel-Jejak Berdarah Israel di Palestina dan Dunia Arab. Jakarta, Kinza Book : 2009.

[16] ibid

· [17] G.Bard, Mitchell Ph.D. Middle East Conflict, Fourth Edition. 2008. New York : Alpha.

[18] ibid

[19] ibid

0 komentar: