Rabu, 20 Februari 2013

Anak Jalanan: Kehidupan yang Keras dengan Hati yang Lembut - Bagian 1

Street Children: Hard Life with Gentle Heart - Part 1

Saya tertarik untuk berbagi kisah ini, yang benar-benar terjadi dan saya alami. Well memang saya hobi untuk melakukan observasi sepanjang aktifitas yang saya habiskan, terutama saat dalam perjalanan. Mohon maaf karena tulisan ini terkesan lompat-lompat, karena saya memang ingin curhat, dengan alur campuran, ehm.

Malam ini saya tersentuh dengan sikap seorang anak laki-laki yang biasanya menjadi salah satu dari pengamen di perempatan Fatmawati Jakarta selatan. Tinggi anak itu hanya sepinggang saya, ya usianya mungkin baru 7-8 tahun.

Saya masih ingat, ia merupakan anak yang pernah mengerubungi saya dalam suatu kejadian, sekitar 3 minggu lalu.
Saat itu, saya benar2 merasakan bahwa kampanye www.sahabatanak.org untuk STOP memberi uang AMAT TERAMAT sangat BENAR. Bertahun-tahun para aktifis telah berjuang mengkampanyekan semangat tersebut, nampaknya tantangan dari hari ke hari semakin besar saja. Tapi kami percaya bahwa tidak ada perubahan besar tanpa dimulai dengan perubahan kecil. Kembali lagi ke bahasan sebelumnya.

Mental adik-adik yang menghabiskan waktu di jalan-baik sebagai pengamen, peminta-minta, punk, dan sebagainya telah dikonstruksi untuk terbiasa meminta, menadahkan tangan dan bahkan memaksa jika tidak diberikan, oleh lingkungan sosialisasi primer dan sekunder mereka. Kita bahas contoh kasus, dalam hal ini di wilayah perempatan Fatmawati.

Perempatan Fatmawati, jika saya perhatikan sejak dua tahun belakangan ini (2011-2013) mengalami peningkatan jumlah pengamen. Sebagian besar berusia di bawah SMP, sedangkan ibu-ibu atau "orang tua" mereka duduk disekitar atau ada pula yang mencari nafkah dari keberadaan anak-anak, maupun kelompok pengamen tersebut.

Tidak selamanya bersikap sopan dapat mereka terima, apalagi jika mereka berkelompok, entah kesalahan atau berkah. Saat saya berjumpa dengan mereka, baru saja turun dari metromini, saya mendengar dua di antara mereka bertengkar dengan kata-kata kasar. Nurani saya memaksa saya untuk melerai mereka dengan segenap trik yang saya miliki serta bebekal pengalaman yang diajarkan oleh komunitas Sahabat Anak.
Namun ternyata mereka yang sepertinya telah terbiasa "bercanda" di jalan itu, malah balik mencari pengalihan isu&pengalihan target baru, yakni dengan meminta uang kepada saya.
satu
dua
tiga
yang lain mengekor meminta uang kepada saya
"Kak minta uang Kak...", dengan menadahkan tangan seolah lupa akan pertengkarannya.
Yap, dialah adik yang pertama kali saya sebutkan, berusaha sebaik mungkin aku menolaknya.
"Kak..minta uang dong Kak", mereka merajuk dengan nada yang berbeda-seolah terbiasa dan memiliki SOP cara meminta-minta.
Saya tetap pada prinsip bahwa jika diberikan, mereka akan terbiasa untuk meminta.
Namun teringat bahwa saya mendapatkan beberapa kue, buah tangan dari wali murid dengan spontan saya tawarkan kepada mereka. Justru yang terjadi adalah saya diserbu hingga air mineral yang saya bawa terlepas tutupnya. Dua dari hanya empat bungkus kue itu berhasil mereka rebut, langsung dari pelastik yang saya bawa, belum sempat saya mengeluarkannya sendiri.
Keadaan bertambah buruk ketika geng pengamen lainnya melihat "sumber potensial" sehingga adik-adik yang mengerubungi saya semakin bertambah, untuk mengambil dua kue lainnya. Bahkan yang sudah mendapatkan kue pun masih tetap merebut kue tersebut. Sampai-sampai tukang ojek di sekitar membantu memisahkan, dengan menegaskan kepada anak-anak itu, akan tetapi sayangnya tidak ampuh untuk membuat mereka takut. Nampaknya, tukang ojek di sekitar sana sudah kehilangan kharisma mereka di mata adik-adik.

Terpaksa saya juga melaksanakan SOP untuk bersikap tegas dan memberikan sedikit penerangan kepada mereka, bahwa:

"Yang sudah mendapatkan kue, tidak boleh pelit kepada temannya, ia harus memberikan kue kepada teman-temannya"

"yang tidak  membagikan kepada temannya akan sakit perut dan sakit gigi" (karena sudah pukul 11 malam dan nampaknya emosi saya juga terpancing mengingat diserbu dari kanan-kiri depan, belakang, serong pula maka keluarlah kalimat yang saya tidak tahu lagi bagaimana seharusnya)

"Kakak cuma tinggal punya dua kue lagi, ini untuk yang mau makan kue dibagi ke temen-temennya ya, bukan sendiri, siapa yang berani dan tolong sampahnya di buang ke tempatnya", maka saya berikan kepada mereka.
 lampu hijau berubah menjadi lampu merah, waktunya saya menyebrang. Berbagai pertanyaan, pertanyaan dan asumsi berkecamuk di benak saya, terutama soal:
- mereka tidak malu meminta dan suka diberi
- mereka mau diajak berbagi dan peduli lingkungan

Oke, kemudian itu saya simpan sampai pertemuan selanjutnya dengan mereka, terutama soal anak yang saya temui tadi di tulisan ini bagian 2

0 komentar: