Minggu, 10 Januari 2010

Dampak Modernisasi Militer Republik Rakyat Cina ( RRC ) terhadap Stabilitas Amerika Serikat

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Republik Rakyat Cina ( untuk selanjutnya dalam paper ini disebut RRC ), seperti halnya Negara lain, memiliki kisah sejarah yang sangat kompleks, yang kemudian mengiringi RRC untuk menjadi Negara seperti saat ini.

Di satu sisi, RRC memiliki banyak sekali permasalahan, salah satunya yaitu jumlah penduduk terbanyak di dunia. Namun di lain sisi, RRC memiliki potensi yang sangat besar, dengan tingkat pertumbuhan ekonominya, RRC dapat menjadi Negara adikuasa ekonomi. Ditunjang pula dengan dimilikinya senjata nuklir[1][1], maka Cina dapat menjadi aktor dengan peranan penting dan strategis dalam lingkup perpolitikan dan militer internasional.

Dalam pembicaraan mengenai keamanan, baik dari tingkat nasional, maupun internasional, tentunya selalu berkaitan dengan permasalahan persenjataan atau kekuatan militer. Jika dikaji secara tradisional, kekuatan militer selalu dikaitkan sebagai institusi yang menguasai kekuatan bersenjata dan juga memberikan pengaruh luas bagi pertahanan dan power suatu Negara. Sumber kekuatan militer tersebut tentunya memerlukan ”modal” yang besar, sehingga faktor perekonomian suatu Negara sangat memberikan pengaruh bagi perkembangan militer.

Di tengah krisis global ini, perekonomian RRC masih bertahan dan menunjukkan tanda membaik walaupun memang angka pertumbuhan ekonomi RRC tahun ini[2][2] mencapai angka terendah dalam 19 tahun terakhir, yakni diperkirakan oleh Bank Dunia mencapai 7,5 persen. Dengan pertumbuhan ekonomi tersebut, RRC memberikan anggaran khusus bagi militer RRC yang kemudian dimanfaatkan bagi modernisasi militer RRC.

Namun, Amerika Serikat menganggap hal tersebut merupakan ancaman. Karena posisi Amerika Serikat sebagai Negara super power tersaingi secara langsung maupun tidak langsung. Karena RRC dapat memberikan pengaruh bagi dunia internasional dengan kekuatan seperti yang telah disebutkan di atas.

Ditambah lagi selama dua tahun terakhir ini, Amerika Serikat sadar bahwa terjadi penurunan pengaruh dan juga penurunan kekuatannya terutama pasca krisis ekonomi global yang bermula dari negaranya dan kemudian memberikan dampak bagi dunia.

I.2 Rumusan Masalah

Masalah yang akan dianalisis dalam paper ini adalah yang terjadi dalam tingkatan negara bangsa, yakni mengenai modernisasi militer RRC dan dampaknya terhadap stabilitas di Amerika Serikat. Sehingga model hubungan antara unit analisa dan unit eksplanasi dalam paper ini adalah korelasionis.

Apakah modernisasi militer RRC memberikan pengaruh bagi stabilitas di Amerika Serikat ? Reaksi apa saja kah yang akan dilakukan Amerika Serikat dalam menghadapi modernisasi militer RRC ?.

BAB II

ISI

II.1 Pergeseran Pemikiran Pertahanan Modern RRC dari Masa ke Masa

Pemikiran Pertahanan Modern RRC Bermula[3][3] pada sekitar tahun 1930 dan 1940, dimana dua komponen strategi pertahanan darat (territorial defence) dan pertahanan pantai (coastal defense) sangat diutamakan. Esensi pertahanan keamanan saat itu seperti yang termuat dalam doktrin Perang Rakyat ( People’s War).

Secara implisit, Perang rakyat sangat tergantung pada unsur manusia, operasi infanteri, dan perang gerilya. Dalam konsepsi Mao ZeDong sendiri menyatakan bahwa perang gerilya merupakan inti dari strategi pertahanan. Sehingga sampai sekitar tahun 1980, strategi pertahanan pantai hanya menjadi komponen kedua dalam strategi pertahanan nasional di RRC. Hal itu pun tidak terlepas dari kebutuhan lingkungan strategis saat itu, yakni untuk menangkal ancaman berupa agresi konvensional dan menghadang musuh di perbatasan.

Sejak awal tahun 1980-an, strategi yang diterapkan RRC yaitu, pertahanan aktif (jiji fangyu) agar selaras dengan upaya pembangunan ekonomi lompatan jauh ke depan atas inisiatif Deng Xiao Ping. Dengan demikian, kebijakan pertahanan di RRC harus ditujukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Secara keseluruhan, strategi pertahanan aktif ditujukan untuk menghadapi tiga jenis perang[4][4]. Pertama, perang dunia. Kedua, perang skala luas dalam menghadapi serangan dari Negara asing terhadap RRC. Ketiga, perang terbatas atau konflik perbatasan. Para elite strategi RRC sejak pertengahan tahun 1980-an, meyakini bahwa dari ketiga jenis peperangan tersebut, perang terbataslah yang akan mungkin terjadi. Oleh sebab itu, hingga saat ini, RRC mengembangkan simulasi perang regional dan terbatas (youxian zhubu zhanzheng).

Menjelang akhir tahun 1980-an, arti penting pertahanan maritim dan udara dalam doktrin pertahan aktif mulai diperhitungkan melalui pengenalan strategi pertahanan air hijau ( jijide jinhai fangyu zhanlie). Dengan strategi ini, restrukturisasi prioritas pengembangan angkatan bersenjata dari ketiga kekuatan matra udara, laut dan darat dilakukan untuk membangun kemampuan gerak cepat ( rapid response capability ) untuk menghadapi perang-perang regional dan terbatas atau konflik intensitas rendah ( low intensity conflicts) di sekitar wilayah RRC.

Selanjutnya, pada awal tahun 1990-an[5][5], RRC merevisi kembali strategi pertahanan aktif mereka. Angkatan bersenjata RRC menetapkan prioritas pengembangan pada angkatan udara dan laut. Militer didorong untuk melakukan konstruksi kualitatif militer, yaitu upaya untuk meningkatkan kemampuan operasi militer dengan tekhnologi persenjataan yang tinggi sebagai kombinasinya.

Doktrin modernisasi kualitas militer inilah yang menjadi landasan filosofis pengembangan militer RRC sejak tahun 1992 hingga saat ini.

Dalam dua decade pertama abad ke-21, dalam artikel berjudul “In Search of Blue Water Power : The PLA (People’s Liberation Army) Navy’s Maritime Strategy in the 1990s and Beyond ” yang ditulis oleh You Xu dan You Ji, menulis bahwa strategi besar PLA yakni harapan agar Angkatan Laut RRC mampu menjelajah seluruh lautan dunia yang dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, satuan-satuan pasukan gerak cepat yang dikembangkan akan didampingi oleh aircraft carriers dan membentuk system penyerangan dan pertahanan tiga dimensi yang terdiri atas perlengkapan serang udara, permukaan dan kapal selam. Tahap kedua, pengembangan peralatan perang bertekhnologi tinggi akan diterapkan pada seluruh angkatan bersenjata RRC. Diharapkan setelah tahun 2020, RRC memliki kekuatan laut yang handal dan berskala global.

II.2 Implementasi Doktrin Pertahanan RRC

Doktrin pertahanan aktif dan konstruksi kualitatif militer yang menjadi landasan strategi pertahanan peripheral dan proyeksi masa depan ( future projection ) militer dalam rangka mengantisipasi perang terbatas dan regional, diimplementasikan dengan dilakukannya peningkatan kekuatan militer RRC.

Hal tersebut di atas dapat dilihat dari perhatian RRC yang besar bagi pengembangan kekuatan laut dan udara, juga dengan peningkatan kualitas dan tekhnologi persenjataan melalui program penelitian dan pengembangan yang bersifat intensif. Bahkan RRC termasuk negara pengekspor senjata[6][6] ke kawasan Timur Tengah.

RRC juga meningkatkan perhatiannya pada perang-perang intensitas rendah yang kemudian mendorongnya mengembankan unit-unit pasukan gerak cepat ( rapdi reaction unit / kuaisu budui) yang banyak dipelajari dari pengalaman Negara-negara lain seperti Perancis, Inggris dan Amerika Serikat dalam menghadapi pertempuran dengan calon aggressor, terorisme, dan kekacauan dalam negeri, selain itu juga untuk mengamankan berbagai kepentingan maritim, klaim-klaim territorial dan lepas pantainya.

Munculnya RRC seperti saat ini, tidak luput dari peranan para tokoh visioner[7][7] seperti Mao ZeDong, Deng Xiao Ping, Jiang Ze Min dan juga Hu Jin Tao yang menetapkan garis kebijakan bagi RRC terutama pascapembentukan RRC. Dibawah kepemimpinan mereka, RRC telah melakukan lompatan jauh ke depan ( the great leap ) dan RRC dijadikan sebagai Negara yang kuat, kaya serta disegani dalam dunia internasional.

II.3 Perimbangan Strategis RRC

II.3.1 Persepsi RRC terhadap Nuklir

Dengan daya serang nuklir yang dimilikinya, RRC harus bersaing untuk mendapatkan potensi politik yang penuh dalam system internasional. Meskipun dengan status sebagai Negara nuklir, tetapi dalam sidang istimewa Majelis Umum PBB tentang pelucutan senjata pada tahun 1978[8][8], RRC menyatakan bahwa dengan adanya perlombaan senjata Amerika-Soviet, justru memberikan batasan kekuatan nuklir agar dunia tidak terpecah belah oleh ancaman dan pemerasan nuklir.

Persepsi RRC di sini tidak mengandalkan nuklir sebagai sumber power, tetapi hanya menjadikan nuklir sebagai alat banding agar dipandang dalam dunia internasional.

RRC memiliki satu reactor peneliti, dua pabrik penghasil bahan bakar nuklir, dan dua situs senjata atom di Provinsi Sichuan. Reaktor plutonium terbesar RRC berada di Guanyuan dan masih banyak lagi[9][9].

Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) melaporkan[10][10] bahwa jumlah reactor nuklir di dunia mencapai 439 buah yang sudah beroperasi dan 34 buah yang sedang dibangun. Dari total itu, AS memiliki 104 reaktor nuklir, Perancis 59 reaktor aktif untuk 73 persen kebutuhan listrik negaranya.

Lembaga resmi RRC menyatakan bahwa Beijing berencana untuk menanamkan modal sebesar 1 miliar 400 juta USD untuk program pembangunan Reaktor Perpaduan Nuklir Internasional pertama yang akan dimanfaatkan pada tahun 2016.

II.3.2 Perimbangan Strategis Kawasan

Dalam lingkup makrostrategi, peningkatan kekuatan militer RRC selama 5 tahun ke depan akan memberikan dampak bagi perimbangan strategis di kawasan. Sebagai sebuah Negara bangsa di Asia Pasifik, perilaku RRC sangat ditentukan oleh factor-faktor eksternal[11][11], khususnya sikap dan kebijakan Amerika Serikat dan juga para sekutu Amerika Serikat seperti Korea Selatan, Jepang, dan Australia, baik secara per Negara bangsa, maupun secara gabungan dalam membentuk lingkungan politik, keamanan, dan ekonomi kawasan Asia Pasifik.

II.4 Posisi RRC di Mata Amerika Serikat

II.4.1 Insiden Militer RRC dengan Amerika Serikat

Serangkainan sikap keras RRC terhadap beberapa negara seringkali dianggap sebagai pembalasan terhadap suatu abad penghinaan[12][12] ( century of humiliation ) dari kekuatan-kekuatan asing terhadap pemerintahan dan bangsa RRC.

Diantara sikap keras RRC terhadap Negara lain yang banyak terjadi yakni dalam melakukan hubungan militer dengan Amerika Serikat[13][13]. Sering sekali terjadi insiden antara kedua Negara.

Pada April 2001, di atas laut China Selatan, sebuah pesawat tempur RRC F-8 bertabrakan dengan pesawat pengintai AS jenis EP-3. Pesawat EP-3 tersebut selamat setelah melakukan pendaratan darurat di Pulau Hainan. Setelah insiden diketahui, Pemerintah RRC segera menyelenggarakan konferensi pers dan menuntut Pemerintah AS untuk menjelaskan dan agar bertanggungjawab penuh serta meminta maaf atas insiden yang terjadi. Setelah melakukan proses perundingan yang panjang, AS kemudian meminta maaf dan Pemerintah RRC membebaskan semua kru pesawat dari Pulau Hainan, namun rongsokan pesawat yang rusak akibat pendaratan darurat tersebut tetap ditahan.

Akhir November 2007, Pemerintah RRC telah melakukan pelarangan bagi sebuah kapal perang AS, USS Kity Hawk, yang bersandar di pelabuhan Hong Kong. Pemerintah AS memprotes tindakan pemerintah RRC itu, dan meminta Beijing mencabut larangan karena maksud dari bersandarnya kapal AS tersebut yakni untuk merayakan Thanksgiving Day. Tapi Beijing tetap pada pendiriannya agar kapal AS tersebut harus mundur kembali ke laut bebas.

Sedangkan yang baru-baru ini terjadi, yaitu pada 7 Maret 2009, kapal pengintai AS USNS Impeccable hampir bertabrakan dengan kapal RRC di sekitar perairan Laut Cina Selatan sekitar 50 km dari pantai Pulau Hainan. Washington menuduh kapal RRC bergerak secara sengaja di depan kapal pengintai AS, dan kemudian awak kapal AS melakukan aksi darurat dan menghalangi kapal RRC yang akan melakukan aksi lanjutan. Sedangkan RRC menuduh kapal AS yang tak bersenjata itu sedang melakukan tugas sebagai mata-mata.

Dengan sedikit contoh insiden di atas menunjukan bagaimana posisi RRC saat ini di mata AS.

II.4.2 Perekonomian RRC yang Mengancam Amerika Serikat

Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi mendekati 10 persen, (double digit growth), selama 8 tahun terahir, diperkirakan 5 tahun ke depan[14][14], RRC akan mengungguli perekonomian Jerman. Kemudian, 15 tahun ke depan RRC akan mengambil alih posisi Jepang sebagai penguasa ekonomi kedua. Dan 50 tahun ke depan, RRC diprediksikan akan menggeser posisi AS.

Mulai tahun 1978 hingga tahun 2007, jumlah warga pedesaan telah bertambah 30 kali lipat, dan warga perkotaan bertambah 40 kali lipat. Sementara cadangan devisa RRC tahun 1978 sejumlah USD1 miliar, kini hampr menjadi USD2 miliar, yang merupakan cadanngan devisa terbaesar di dunia.

Dengan kemajuan ekonomi tentunya memberikan dampak bagi anggaran belanja militer RRC yang tentunya akan membuat RRC kuat dalam bidang persenjataan.

Tahun 2009, anggaran militer RRC[15][15] akan meningkat sebesar 14,9 persen dibanding 2008. Li Zhaoxing, Juru Bicara Parlemen menyatakan kenaikan anggaran pertahanan untuk 2009 naik 62,5 miliar yuan (110,9 triliun) menjadi 853,76 triliun rupiah ( 480,7 miliar yuan ). Bagi seorang pejabat di sana, penambahana anggaran ini tidak mengancam Negara lain dan bertujuan untuk memperbaharui perlengkapan dan melindungi stabilitas sosial.

Jika dibandingkan, anggaran pertahanan RRC jauh lebih kecil dari anggaran pertahanan AS yang berjumlah 515 miliar dollar AS ( 6259 triliun rupiah).

II.5 Reaksi Amerika Serikat terhadap Modernisasi Militer RRC

RRC memiliki kekhawatiran yang dianggap cukup serius dengan persepsi mereka bahwa Amerika Serikat berencana untuk melakukan hegemoni global yang nantinya akan mengganggu terealisasinya proses agenda strategis RRC.

Perkiraan yang dilakukan RRC adalah bahwa AS akan menghalangi proses pencapaian kepentingan RRC. Walaupun RRC sendiri tidak melihat akan dilakukannya penyerangan militer terhadap RRC oleh AS.

Sedangkan AS sendiri sebagai Negara yang realis, tentunya mengedepankan kepentingan nasional di atas segalanya dan akan berupaya untuk paling tidak mempertahankan power, kapabilitas dan pengaruh yang dimilikinya. Dalam hal ini, tak dapat dipungkiri bahwa RRC dianggap sebagai salah satu pesaing yang harus dihadapi AS.

Terlebih RRC berada dalam kondisi yang menguntungkan, di mana RRC memiliki ekonomi yang kuat untuk membangun kekuatan militernya yang menentukan system keamanan nasional. Selain itu, RRC memiliki sumber daya manusia yang hampir mencapai 2 milyar orang pada pertengahan tahun ini. RRC juga memiliki posisi sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan termasuk dalam The P5 (Power Five), yang memiliki sumber daya dan kapasitas untuk melancarkan perang nuklir.

Reaksi yang akan dilakukan Amerika Serikat untuk tetap menjadi Negara superpower tentunya dengan selalu memantau perkembangan RRC, baik dalam segi politik, ekonomi, militer dan juga dalam hal lainnya yang mungkin menentukan arah perkembangan RRC, melalui instrument diplomasi intelijen yang dimiliki AS.

Selain itu, Amerika Serikat akan memperkuat dan memperbaiki hubungannya dengan para sekutunya dan juga melakukan smart diplomasi dengan pendekatan kepada RRC dan Negara-negara lain yang AS anggap penting bagi kepentingan nasionalnya, dengan jalan menjauhi peperangan dan mengutamakan soft diplomacy. Karena peperangan saat ini lebih dianggap merugikan, Perang memerlukan modal yang tidak kecil, belum lagi berjatuhannya korban dan juga kerusakan akibat perang. Terlebih AS harus membangkitkan kondisinya dari krisis ekonomi global. Sehingga walaupun anggaran militernya besar, namun diprioritaskan untuk memperbaiki kondisi dalam negeri terlebih dahulu

Masih cukup waktu untuk AS dan AS memiliki peluang untuk tetap mempertahankan power, kapabilitas dan pengaruhnya dalam dunia internasional sehingga reaksi AS terhadap RRC lebih menekankan pada soft diplomacy.

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Jadi, modernisasi militer RRC saat ini memberikan pengaruh bagi stabilitas AS, karena posisi AS juga dalam keadaan yang kurang menguntungkan dalam segi ekonomi. Sehingga AS akan memperlakukan hubungan diplomatic dengan RRC secara lebih baik, bukan melalui penyerangan militer, namun lebih ke arah kerjasama.

AS merasa posisinya masih tetap aman untuk saat ini, dan moderinasi militer RRC memacu AS untuk mempertahankan power, kredibilitas dan kekuasaannya dengan melakukan soft diplomasi, termasuk pada RRC. Namun demikian, AS tetap memantau perkembangan RRC yang mungkin mengancam AS sebagai Negara adikuasa pertama di dunia.





[1][1] http://go-kerja.com/isu-nuklir-di-tengah-krisis-energi/ diakses pada : 17 Maret 2009, pukul ; 22.45.

[2][2] Koran Jakarta. 28, Februari, 2009. Pertumbuhan Cina.

[3][3] http://www.mimbar-opini.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2459 , diakes pada : 17 Maret 2009, pukul ; 21.30.

[4][4] Ibid.www.mimbar-opini

[5][5] Ibid.www.mimbar-opini

[6][6] Jones Walter S, Logika Hubungan Internasional- Kekuasaan Ekonomi-Politik Internasional dan Tatanan Dunia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.

[7][7] Seputar Indonesia. Selasa, 17, Maret, 2009. Nasionalisme Baru China.

[8][8] Ibid.Jones Walter S.

[11][11] Ibid. Mimbar Opini

[12][12] Ibid. Seputar Indonesia

[13][13] Ibid. Seputar Indonesia

[14][14] Ibid. Seputar Indonesia

[15][15] Koran Jakarta. Kamis, 5, Maret, 2009. China Tambah Anggaran Militer.

0 komentar: