Senin, 07 Maret 2011

MENEROPONGI KEBIJAKAN DEFENDING AUSTRALIA IN THE ASIA PACIFIC CENTURY : FORCE 2030 -Defence White Paper, Australian Government -

PENDAHULUAN

Abad 21, saat dunia telah mengalami transformasi komunikasi, transportasi serta informasi yang begitu cepat, dengan keterlibatan bebagai lapisan actor, baik state actors maupun non state actors yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, serta adanya hubungan saling ketergantungan antar aktor. Hal ini menyebabkan keadaan yang anarkis, karena batasan kepentingan menjadi tidak jelas dan terjadi benturan kepentingan dari berbagai aktor.

Perubahan yang drastis di dunia menuntut state actor atau aktor negara harus beradaptasi agar tetap eksis dalam politik internasional, serta mampu mempertahankan power dan pengaruhnya di dunia yang tidak lagi unipolar.

Hal ini pula yang dilakukan oleh Australia sebagai aktor negara. Melalui buku putih pertahanannya Australia berusaha untuk menegaskan kepentingan nasionalnya dalam politik internasional, serta berbagi apa yang Australia lakukan sebagai salah satu bentuk keterbukaan melalui publikasi buku putih pertahanannya.

Isu pertahanan merupakan hal alami, karena Negara bangsa teridiri dari kumpulan manusia yang secara alami terbentuk melalui kompetisi. Sehingga individu yang menyatukan diri dalam Negara bangsa ini akan berusaha untuk mempertahankan diri dari hal-hal yang mengancamnya. Isu pertahanan juga merupakan hal yang rumit dan telah terjadi dalam jangka waktu yang lama, seiring dengan adanya kehiudupan di muka bumi.

Telebih, dalam mempertahankan negaranya, pemerintah Australia melihat bahwa sejak tahun 2009 ke belakang, dunia telah mengalami perubahan yang signifikan, sehingga Australia perlu memperkuat fondasi pertahanannya agar lebih solid dengan memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada saat ini, serta melakukan pertimbangan keuangan, sehingga mampu untuk bersaing dengan angkatan berenjata lain, baik berupa aktor negara maupun bersaing dengan non-state actors atau aktor non-negara dalam menghadapi tantangan yang mengancam kepentingan nasional Australia, juga yang mengancam aliansinya.

PEMBAHASAN

Ulasan Singkat Rencana Pertahanan Pemerintah Australia

Buku putih pertahanan Australia menjelaskan apa saja rencana ke depan yang akan pemerintah Australia lakukan dalam upaya memperkuat fondasi pertahanan Australia. Dalam hal ini, pemerintah Australia menyadari pentingnya peran angkatan bersenjata yang terpercaya. Sudah menjadi kebijakan pemerintah Australia untuk menempatkan Australian Defence Force (ADF) sebagai aktor utama yang berperan untuk melawan kekuatan bersenjata lain.

Pemerintah Australia berorientasi hingga tahun 2030 dalam buku pertahanantahun 2009 ini dan melakukan berbagai prediksi pertahanan sebagai salah satu bentuk tanggungjawab sebagai negara persemakmuran. Di masa depan, Australia akan membuat buku putih pertahanan dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama per sepuluh tahun (satu decade) lagi, mengingat banyak dan cepatnya perubahan yang terjadi di dunia, serta sebagai bahanm pertimbangan risiko strategis, dan juga untuk menghemat sumber daya yang dimiliki Australia.

Ada beberapa kepentingan utama Australia dalam bidang pertahanan. Pertama, yaitu untuk melawan penyerbuan bersenjata langsung dari negara lain maupun dari aktor non-negara, terutama yang memiliki Weapon Mass Destruction (WMD atau senjata pemusnah masal). Kedua, yaitu kepentingan strategis dengan negara tetangganya seperti Indonesia, Timor Leste, Papua Nugini, Selandia Baru, dan negara-negara di wilayah Pasifik Selatan lain, mereka tidak dianggap sebagai ancaman karena dari negara-negara tersebut tidak ada yang unggul secara militer, tetapi menjadi tantangan bagi kontrol pertahanan laut dan udara Australia.

Kepentingan ketiga Australia yaitu untuk menghadirkan kestabilan di wilayah Asia Pasifik, mulai dari Asia Utara hingga Samudera Hindia Timur. Kepentingan keempat yaitu, pada wilayah Asia Tenggara, dimana negara-negara itu bersatu melalui organisasi regional sehingga dianggap dapat mengurangi risiko ancaman, lalu kepentingan terakhir yaitu untuk berkontribusi dalam berbagai urusan internasional, terutama yang menyangkut masalah teroris, WMD, sumber daya dan perubahan iklim.

Pemerintah Australia telah memutuskan bahwa kemandirian atau berdiri di atas kaki sendiri merupakan prinsip dasar bagi pertahanan langsung Australia, dengan kepentingan strategis yang unik, tetapi dengan kapasitas untuk melakukan lebih jika dibutuhkan, dalam sumber daya yang terbatas dan berbagi kepentingan dengan aktor lainnya, sehingga Australia selain menjalin hubungan pertahanan secara internasional juga memiliki aliansi.

Kapasitas minimum yang harus dimiliki oleh Australia dalam hal kekuatan militer dan kebijakan pollitik, yaitu bertindak secara independen, karena Australia memiliki kepentingan strategis yang unik dan dipercaya mampu untuk melawan kekuatan asing manapun, lalu memimpin koalisi militer untuk melengkapi keterbatasan kapasitas dari hubungan militer yang dibentuknya dengan aktor lain, serta dapat menjalin kontribusi dalam koalisi militer, untuk membagi kepentingan strategis dan menerima beban bersama untuk mengamankan kepentingan strategis tadi.

Tugas utama ADF adalah untuk menghalangi dan mengalahkan serangan bersenjata bagi Australia, berkontribusi dalam menjaga stabilitas dan keamanan di Selatan Pasifik dan Timor Timur, berkontribusi dalam gabungan militer Asia Pasifik dan dipersiapkan untuk berkontribusi dalam gabungan militer di seluruh dunia.

ADF tentu membutuhkan kekuatan ekstra untuk melaksanakan tugas tersebut pada beberapa area. Dibutuhkan persenjataan bawah laut, anti-submarine warfare (AWF), penangkal perang permukaan laut, pengawasan dan pengintaian intelijen (ISR) dan kapasitas bagi perang dunia maya. Peningkatan kapabilitas maritim menjadi fokus pengembangan hingga tahun 2030. Tetapi pemerintah juga mengupayakan pengembangan kekuatan udara, kendaraan militer, perbaikan fasilitas dan infrastruktur melalui Program reformasi strategis.

Program reformasi strategis akan membuat efisiensi dan efektivitas bagi perkembangan pertahanan Australia, sehingga dapat menghemat sekitar 20 Milyar dolar yang surplus dananya akan dialokasikan dan diinvestasikan bagi pengembangan pertahanan selanjutnya.

Tinjauan Konseptual Kebijakan Australia dalam Buku Putih Pertahanan Australia 2009

Menurut Charles W. Kigley dan Eugene R.Wittkop[1], perspektif neorealis memandang bahwa, pertarungan posisi dan kekuasaan yang dialami oleh negara berlangsung dalam sistem yang anarkis, di mana keseimbangan teror, kesiapan dan penangkalan militer merupakan pendekatan yang dilakukan oleh negara.

Prospek global dipandang secara pesimis, karena merupakan hal yang berlangsung dengan motif untuk memperoleh kekuasaan, prestise dan keuntungan relatif dibandingkan dengan negara lain, sehingga negara melakukan berbagai pilihan rasional, dalam kebijakan luar negerinya[2].

Perspektif neo-realis sejalan dengan apa yang Australia sampaikan melalui buku putih pertahanannya. Beberapa kali disebutkan bahwa masa depan dunia tidak pasti, menuntut terjadinya beberapa pertimbangan yang harus negara lakukan, seperti antisipasi terjadinya apa yang disebut Clautsewitz sebagai friction of war, yakni pertimbangan yang tidak dapat dihitung secara matematis dalam keadaan perang, tetapi jika dilihat dalam konteks ke kinian, pertimbangan semacam ini juga sangat penting, sehingga Australia melakukan perimbangan teror dengan jalinan aliansi dengan Amerika Serikat, ANZUS (Australia, New Zealand, US) sejak tahun 1951, dan NATO (North Atlantic Treaty Organization) dan United Kingdom.

Sebagai bentuk perhitungan rasional, selain Australia meningkatkan kapabilitas militernya untuk menangkal dan berperang, Australia juga meningkatkan hubungan dengan beberapa negara potensial yang telah, sedang dan akan dirangkul sebagai rekan kerjasama pertahanan seperti Jepang, Korea Selatan, India, Indonesia, Five Power Defence Arrangements (dengan Singapura, Malaysia, Selandia Baru dan Inggris), Vietnam dan Kamboja sebagai negara sosialis, Philipina dan Thailand dalam isu terorisme, Timor Timur, Papua Nugini, negara-negara Pasifik Selatan lain, tak ketinggalan kawasan Timur tengah dan Afrika.

Barry Buzan menyatakan bahwa kemananan diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Keamanan memiliki lima dimensi berupa keamanan militer, politik, ekonomi, sosial dan lingkungan[3]. Keamanan militer dalam buku putih pertahanan Australia dinyatakan melalui perkembangan angkatan laut, darat dan udaranya.\

Keamanan politik, secara domestik bagi Australia juga dipengaruhi keamanan ekonomi, karena krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 ikut memberikan dampak bagi perekonomian Australia, sehingga anggaran pertahanannya juga terkena imbas dan kepercayaan masyrakat Australia kepada pemerintahan harus dipertahankan dalam keadaam demikian. Keamanan sosial menyangkut masalah penyelundupan manusia, narkotika, juga isu kemanusiaan. Keamananan lingkungan menyangkut ancama pemanasan global, yang sempat dirasakan Australia saat terjadi kebakaran hebat tahun 2008.

Disamping itu, K.J Holsti juga menyatakan bahwa kebijakan luar negeri merupakan tindakan atau gagasan yang dirancang oleh pembuat kebijakan untuk memecahkan masalah atau mempromosikan suatu perubahan dalam lingkungan melalui kebijakan, sikap atau tindakan negara lain, baik dalam hal militer, ekonomi, energi, tekhnik, lingkungan budaya juga kemanusiaan[4]. Hal ini juga sejalan dengan reaksi Australia, di mana Australia mengirimkan pasukan militernya di wilayah Afghanistan yang dianggap berpengaruh terhadap persebaran teroris internasional dan bertanggungjawab akan hilangnya nyawa masyarakat Australia yang menjadi korban pengeboman di beberapa wilayah dunia seperti Indonesia (Bali dan Jakarta), London di Inggris, Madrid di Spanyol, dan Mumbai di India.

Dalam memandang konsep regionalisme, Australia melihat wilayah Asia Pasifik sebagai potensi luar yang menuntut adanya tindakan dari dalam negeri Australia atau yang dikenal dengan pentingnya “outside-in minded[5] dalam membentuk kerjasama institusionl yang hanya berdasarkan kepentingan nasional saja

Hubungan Pertahanan Australia di Asia Pasifik

Bagi Australia, wilayah Asia Pasifik termasuk penting, hal ini ditandai dengan beberapa indikator, seperti dari sampul dan judul buku putih pertahanannya yang berbunyi “Defending Australia in The Asi Pacific Century: Force 2030” serta dicantumkannya pembahasan khusus mengenai wilayah Asia Pasifik.

Misalnya, dalam bagian 4 buku putih pertahanan Australia 2009 yang membahas mengenai lingkungan strategis Asia Pasifik dan masa depan kapabilitas militer di wilayah Asia Pasifik, lalu pada bagian 5, mengenai stablitas strategis di wilayah Asia Pasifik, pada bagian 7 mengenai kontribusi militer Australia di wilayah Asia Pasifik serta pada bagian 11 mengenai wilayah Asia Pasifik yang lebih luas dalam hal menjalin hubungan pertahanan dengan Australia.

Kepentingan Australia di wilayah Asia Pasifik tidak terlepas dari kepentingan Amerika Serikat-aliansinya. Australia memiliki ketergantungan dengan Amerika Serikat sejak lebih dari lima puluh tahun lalu. Di mana saat ini, AS dan Australia baru memperbaharui kerjasama mereka melalui Enhanced Defence Cooperation 2007, lalu Satellite Partnership 2008 juga kerjasama mulai dari masalah tekhnis, peralatan, misil, angkasa, tekhnologi, hingga misi dan penelitian yang mencakup berbagai bidang, termasuk sosial seperti isu kemanusiaan dan bidang lingkungan seperti isu bencana alam dan pemanasan global.

Australia menganggap AS sebagai peran utama bagi stabilitas dunia, khususnya di wilayah Asia Pasifik (halaman 30 buku putih pertahanan Australia 2009), dan pasca perang dunia II, Australia tidak memiliki alternatif pilihan ekonomi dan politik selain nilai liberal dalam ekonomi dan demokrasi dalam bidang politik.

Secara historis geografis, wilayah Australia merupakan wilayah yang aman dan stabil, di sampaing negara yang kaya juga makmur. Sehingga Australia mampu berkontribusi dalam berbagai upaya penanganan bencana alam, seperti Tsunami di Aceh Indonesi tahun 2006, gempa bumi tahun 2005 di Pakistan, banjir di Papua Nugini tahun 2007, serta memberikan bantuan kemanusiaan lainnya.

AS dilihat lebih penting daripada beberapa negara tetangga Australia, hal ini dilihat dari prioritas pencantuman nama AS serta banyaknya jalinan kerjasama kedua negara. Dengan kapabilitas dan hegemoni AS, Australia secara tidak langsung telah memastikan kelancaran proses hegemoni AS di wilayah Asia Pasifik. Keberadaan AS diharapkan mampu merangkul dan membantu menangani masalah-masalah di Asia Pasifik khususnya.

Australia melakukan pendekatan dengan negara-negara di Asia tenggara karena wilayah Asia Tenggara lebih dekat dengan India dan China yang dianggap mampu menjadi kekuatan dunia selanjutnya dan menyaingi AS, sehingga bentuk perimbangan kekuatannya yaitu dengan menjalin kerjasama dengan negara-negara Asia Tenggara.

Sayangnya, pemerintah Australia sama sekali tidak menyebut Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) dalam buku putih pertahanannya sebagai rezim strategis di wilayah Asia Tenggara yang dapat dirangkulnya dengan efisien, Australia hanya menjabarkan kerjasama bilateralnya dengan beberapa negara-negara anggota ASEAN saja, padahal Australia kini telah menjalin kerjasama dengan ASEAN.

Dalam melihat negara-negara tetangganya, Australia menganggap bahwa permasalahan yang sering terjadi di negara-negara tetangganya diantaranya yaitu terorisme, pemberontakan, kekerasan komunal, dan kelompok Islamis fundamentalis, kemanusiaan melalui pendidikan, kesehatan dan pemberantasan kelaparan, penyebaran nilai demokrasi, pendampingan keamanan serta potensi ekonomi, dan Australia akan berupaya untuk membantu jika hal ini sejalan dengan aturan PBB.

Australia juga berkepentingan untuk mencegah terjadinya konflik di wilayah Asia Pasifik sehingga secara militer jika ada aliansi dan rekan Australia yang mengalami masalah, maka Australia akan turun membantu. Kekuatan ADF yang akan Astralia terjunkan untuk membantu diantaranya yaitu keuatan permukaan laut, kekuatan khusus, dan kekuatan udara.

Beberapa Kelemahan pada Kebijakan dalam Buku Putih Pertahanan Australia 2009

Dalam menjalankan suatu aksi atau interaksi dalam politik internasional, idealnya, suatu Negara memiliki nilai-nilai nasional yang diusung sebagai pegangan awal sebelum berpartisipasi dalam politik internasional. Akan tetapi dalam buku putih pertahanan Australia ini, hanya menyebutkan aturan main yang Australia pegang hanya berdasarkan Piagam Perserikatn Bangsa-bangsa (PBB) dan prinsip PBB “bertanggungjawab untuk melindungi” dalam upaya menciptakan kemanan global.

Sehingga peran Australia secara tidak langsung telah dibatasi sesuai dengan batasan PBB, dan tujuan untuk berperan dalam stabilitas dunia pun tergangung pada aturan PBB. Padahal, salah satu prinsip yang Australia cantumkan pada buku putih pertahannannya adalah act independently, yang jika diartikan lebih mengarah kepada “bebas menentukan tindakan” daripada bersikap mandiri.

Terkait dengan masalah kemandirian, pada bagian 6 poin 17 buku putih pertahanan Australia 2009 menyangkut kebijakan pertahanan Australia, dinyatakan bahwa pemerintah Australia telah memutuskan prinsip berdiri di atas kaki sendiri merupakan prinsip pertahanan langsung Australia.

Sedangkan, Australia pada bagian 11 buku putih pertahanannya juga menyebutkan bahwa Australia menjalin aliansi dengan Amerika Serikat. Pada bagian lain Austraia beberapa kali menyebutkan peran Amerika Serikat sebagai kekuatan tunggal yang telah berlangsung lama sangatlah penting dalam menjaga stabilitas dunia. Ini menjadi bukti bahwa Australia tidak mandiri dalam membangun pertahanannya dan memilih Amerika Serikat sebagai tameng utama.

Dalam pembahasan WMD, Australia menyebutkan ancaman dari actor non-negara seperti teroris, mereka juga menyebutkan senjata yang berpotensi menjdi WMD yaitu senjata biologis, kimiawi dan radiologis. Sedangkan, Australia yang nenyatakan bahwa belum menjadikan proritas pengembangan WMD dalam pertahanannya (halaman 86 buku putih pertahanan), dan hanya memaparkan pengembangan nuklirnya akan nuklir disokong oleh Amerika Serikat, tetapi tidak menjabarkan WMD lain yang juga disokong oleh Amerika Serikat, meskipun memang tidak benar-benar ada, tetapi ini menimbulkan kecurigaan, mengapa Australia begitu khawatir dengan pengembangan WMD yang kompleks sedangkan dari domestiknya sendiri tidak terbuka menyatakan bahwa tidak melakukan pengembangan WMD lain.

Sejak buku putih pertahanan tahun 2009 diluncurkan, pemerintah Australia telah mengalokasikan dana khusus untuk pembuatan buku putih pertahanan yang ke depannya mampu dibuat dalam rentang waktu yang lebih singkat, yakni lima tahun saja.

Dalam Bab 18, yang membahas anggaran pertahanan Australia di masa depan, sayangnya Australia tidak begitu transparan secara international, meskipun secara nasional anggaran pertahanan ini diaudit secara independen oleh George Pappa dan Astralia juga mencantumkan transparansi sebagai bagian dalam rencana pertahanan (halaman 19).

Anggaran yang dicantumkan hanya pada tahun 2017-2018 yang akan dinaikkan 3 persen dari anggaran sebelumnya, dan pada tahun 2018, 2019 hingga tahun 2030, anggarannya diprediksikan hanya meningkat 2.2 persen saja. Artinya ada penurunan biaya anggaran hingga tahun 2030 (halaman 137 buku putih pertahanan Australia 2009).

Akan tetapi, penurunan tersebut tidak mencantumkan jumlah dan nilai perkiraan. Hal ini di satu sisi sebagai bentuk privasi rumah tangga Australia, namun mengingat bahwa pemerintah Australia melakukan efisiensi biaya dalam anggaran pertahanannya dan kelebihnannya akan dialokasikan untuk tahun selanjutnya, maka dan anggaran yang menurun tadi dapat diisi dengan surplus anggaran aebelumnya, dan sama saja anggran pertahan Australia tidak mengalami penurunan yang signifikan.

Ketidak transparanan juga terlihat dari tahun anggaran yang digunakan tidak menyebutkan tahun 2010 hingga tahun 2016, padahal yang akan menjadi pertimbangan aktor lain dalam melihat perkembangan dan kepentingan Australia, tentu berdasarkan anggaran yang Australia keluarkan untuk pertahanannya, dalam jangka waktu dekat, bukan hanya beberapa tahun ke depan saja.

Australia menyatakan menganut dan sejalan dengan nilai-nilai liberal dan demokrasi, , tetapi nyatanya jika dianalisa dalam buku putih dalam hal pertahanan dan keamanan negara, Australia menjalankan nilai-nilai neo-realis yang tidak terucapkan secara langsung. Ucapan mendukung liberal dan demokrasi terkait hubungannya dengan AS, hanya menegaskan bahwa ada kerjasama yang dijalin Australia dengan AS melalui adopsi nilai-nilai, tetapi pelaksanaannya ditentukan kembali pada sejauh mana Australia ingin mengadospi nilai-nilai tersebut yang patut diingat bahwa AS sebagai pelopor ekonomi liberal baru-baru ini mengalami krisis ekonomii, juga Australia secara jelas mengatakan bahwa kepentingan strategis mereka adalah kepentingan yang unik, singkatnya dapat diartikan kerjasma AS-Australia berlangsung karena ada kepentingan tertentu.

Secara teknis, kesalahan cetak yang terjadi pada halaman 16 dan 48 menunjukkan bahwa terdapat kepentingan lain yang Australia sembunyikan, dengan asumsi bahwa penegasan peran Australia di Aceh hanya untuk menanggapi bencana Tsunami Samudera Hindia, sedangkan di Aceh juga sedang terjadi masalah separatisme. Lalu kata ‘dengan’ yang diganti dengan kata “tanpa’ pada bagian 6.19 menyatakan kesalahan yang cukup fatal.

Lalu, seharusnya dicantumkan daftar singkatan. Sehingga pembaca awam lebih mudah untuk mengerti maksud yang akan dibahas, tidak bingung dan tidak perlu mencari di halaman sebelumnya yang dapat membuang waktu karena buku putih pertahanan Australia tidak tipis. Misalnya singkatan FPDA (Five Power Defence Arrangement) yang tidak disebutkan singkatannya pada bagian 11.24 beberapa singkatan lain yang tiba-tiba muncul seperti JORN, JSF, DSTO, dan EW.

PENUTUP

Pembahasan mengenai isu pertahanan dan keamanan merupakan hal yang rumit dan membutuhkan perhitungan, bukan hanya matematis tetapi juga prediksi akan masa yang akan datang. Melalui buku putih pertahanannya, Asutralia mencoba membuka akses bagi siapapun yang ingin melihat, menganalisa dan mengetahui cara pandang Australia hingga tahun 2030.

Sebagai aktor negara bangsa yang harus mempertahankan kelangsungan hidup dan eksistensinya, tentu Ausralia menjalin kerjasama internasional dengan mempertimbangan kepentingan nasional, guna memperoleh power, meningkatkan kapabilitas serta memperluas pengaruh, di wilayah Asia Pasifik khususnya dan dunia umumnya.

Sebagai negara bangsa, tentu Australia membutuhkan kerjasama dengan aktor lain terlebih era globalisasi telah menuntut keadaan untuk membuka diri dengan aktor lainnya. Perkembangan militer Australia-ADF hingga tahun 2030 sebagai bentuk antisipasi Asutralia akan potensi wilayah Asia Pasifik yang dianggap akan mengalami kebangkitan, baik secara ekonomi, sosial dan militer.

Kerahasiaan negara tentu Australia jaga melalui data-data pada buku putih pertahanannya yang tidak secara detail menggambarkan bentuk kerjasama Australia dengan aktor lainnya, juga belum terbuka sepenuhnya secara anggaran. Setidaknya Australia memiliki buku putih yang telah dipublikasi guna memenuhi kebutuhan informasi bagi yang ingin mengetahuinya, adapun realiasi dan fakta yang Australia jalani adalah berdasarkan keputusan domestik Australia sendiri dengan kepentingan strategis uniknya.



[1] Jemandu, Alexius, “Politik Global dalam Teori dan Praktik”. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2008.

[2] Ibid.

[3] Buzan, Barry.1991. People, States, and Fear: An Agenda for International Sequrity Studies in the Post-Cold War Era. Hempstead: Harvester Wheatsheaf.

[4] Ayu Rindu. Syarifah Ida Farida. Laporan Hasil Penelitian Universitas Al Azhar Indonesia-Perkembangan Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi. Jakarta, 2009.

[5] Hurrell, Andrew.1995. Regionalisme in Theoretical Perspective. New York : Oxford University Press., hlm 53

Peran Initiative of Change ( IofC ) : Tantangan dan Prospek dalam Dunia Global

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tatanan sosial dunia dibentuk seiring dengan keberadaan kehidupan manusia di bumi ini. Semakin berkembangnya peradaban manusia, maka usaha untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih baik akan dilakukan, salah satunya dengan berinteraksi secara ekonomi maupun politik dan menciptakan peraturan untuk menertibkan dunia, salah satunya dengan mendirikan negara bangsa.

Akan tetapi, negara bangsa yang dikuasai oleh sekelompok golongan yang agresif dan militeristik tidak serta merta mepmperbaiki keadaan dunia. Di mana pasca berdirinya negara-negara bangsa, justru terjadi peperangan yang merugikan secara materi, psikologis dan menghilangkan nyawa manusia. Sehingga peran actor non negara meningkat untuk memperjuangkan kepentingan dan pembebasan diri dari berbagai masalah di dunia yang tidak ditangani negara maupun yang tidak efektif diselesaikan oleh negara.

Perubahan kekuatan untuk menyelesaikan masalah itu disebut Jessica Matthews sebagai “power shift”(1997: 55-56) saat organisasi non pemerintah melakukan perubahan dalam agenda mereka untuk memperbaki tatanan dunia.

Salah satu aktor non-negara yang memiliki peran penting paska peperangan khususnya perang Dunia I, yaitu aktor yang bergerak dalam moral re-armarment yang saat ini dikenal sebagai Initiative of Change (IofC).

I.2 Identifikasi Masalah

Peningkatan korban perang, misalnya dalam Perang Dunia II yang menewaskan 50 juta jiwa dari kalangan tentara maupun sipil, (Shiver : 2004, 63) membuka kesadaran akan kerugian perang. Munculnya inisiatif untuk mendahulukan perbaikan moral dari pada persenjataan dan memilih untuk berdamai daripada berperang sebagai instrument interaksi internasional.

Inisiatif ini diealisasikan dengan keberadaan Initiative of Change (IofC) sebagai actor non Negara yang memperjuangkan tersebarnya perdamaian demi kepentingan yang universal di dunia.

Sebagai actor, tentu memiliki peranan yang dimainkan dalam dunia internasional, sejauh mana peran IofC, apa saja bukti-bukti peranannya. serta Bagaimana IofC menghadapi tantangan serta prospek dalam dunia global yang akan menjadi focus pembahasan tulisan ini.

I.3 Pembatasan Masalah

Paper ini hanya akan membahas actor non-negara berupa Initiative of Change ( IofC ) saja, adapun pembahasan mengenai actor-aktor lainnya baik negara maupun non-negara merupakan penjelas bagi penelitian ini.

Batasan periodisasi sejak tahun 2001 hingga 2006, karena saat itulah

I.4 Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dijawab dalam paper ini yaitu :

- Bagaimanakan peran Initiative of Change (IofC) dalam dunia global?

- Apa yang menjadi kekuatan, kelemahan, kesempatan dan tantangan bagi Initiative of Change (IofC) dalam menghadapi tantangan dan prospek di dunia global ?

I.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai salah satu syarat kelulusan matakuliah Non-State Actors Dalam program studi hubungan internasional Universitas Paramadina. Selain itu, sebagai tambahan pengetahuan, data dan informasi mengenai IofC.

Manfaat penulisan ini yaitu :

1. Diharapkan dapat menambah wawasan seputar IofC sebagai salah satu actor non-negara yang berkontribusi dalam perbaikan masyarakat sipil sebagai actor dalam dunia internasional dengan instrument soft diplomacy yang digunakannya.

2. Diharapkan dapat menganalisa kekuatan, kelemahan, kesempatan dan tantangan yang dihadapi IofC

I.6 Kerangka Pemikiran

Dalam menganalisa penulis menggunakan perspektif neo liberalis. Paham neo-liberalis merupakan turuan dari paham liberalis yang menurut Kant ( Burchill&Linklater ; 1996 ) memandang bahwa perdamaian abadi terjadi karena hukum alam yang mengatur keselarasan dan kerjasama antar manusi, jika manusia mendahulukan hokum tersebut peperangan tidak akan terjadi.

Selain itu, para pemikir liberalis mulai dari Immanuel Kant, R osseau, Cobden, Schrumpter dan Doyle ( Burchill&Linklater ; 1996 ) sepakat bahwa perang terjadi karena adanya pemerintahan militeris yang non-demokratis yang agresif dan otoriter demi kepentingan pribadi atau para elit.

David Baldwin (Baylish & Smith, 2001 : 188-190) mengidentifikasi empat turunan dari perspektif liberalis. Pertama, liberalisme komersial yang menganjurkan pasar bebas dan ekonomi kapitalis sebagai cara untuk memperoleh perdamaian dan kesejahteraan yang kemudian dikembangkan oleh institusi keuangan global, Multinational Coorporations (MNCs) dan Negara-negara utama pelaku dagang.

Kedua, liberalisme republikan yang menyatakan bahwa Negara demokrasi memiliki kecenderungan untuk menghargai hak-hak warganegara dan menghindari peperangan dengan Negara demokrasi lainnya yang kemudian dikembangkan oleh Amerika Serikat dan Negara-negara G-8.

Ketiga, liberalisme institusionalisme atau institusionalisme neo-liberal. Paha mini dimulai sejak tahun 1960-an di mana integrasi regional mulai dipelajari. Dalam paham ini, dianjurkan bahwa untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan, diperlukan keinginan negara-negara merdeka untuk menyatukan sumber daya mereka dan bahkan menyerahkan sebagian kedaulatan mereka untuk menciptakan komunitas yang terintegrasi dalam mengembangkan pertumbuhan ekonomi atau menghadapi permasalahan regional.

Keempat, liberalisme kemasyarakatan, dengan ide bahwa ketergantungan antar masyarakat sangatlah penting. Meningkatnya kegiatan lintas negara, terhubungnya masyarakat dari berbagai negara, membuat pemerintah kesulitan dalam bertindak sendiri, karena biaya yang mahal. Naiknya biaya perang dan kebiasaan negara yang menyimpang lainnya membuat komunitas internasional yang damai terbangun, secara kultur dan melibatkan masyarakat sipil sehingga terjadilat proses transnasional yang membangun berbagai komunitas seperti musisi, artis, produsen, ilmuan dan pelajar.

Paham terakhir ini diperkuat dengan pernyataan Keohane dan Nye (1977), bahwa dunia semakin prulal seiring dengan keterlibatan para aktor internasional yang saling tergantung satu dengan lainnya. Ketergantungan yang kompleks kemudian membuat dunia terbagi dalam empat karakteristik, yaitu :

1. Naiknya hubungan aktor negara dan aktor non-negara

2. Munculnya agenda baru isu internasional tanpa perbedaan antara low dan high politics context.

3. Adanya pengakuan terhadap berbagai saluran interaksi di antara banyak actor yang lintas batas nasional.

4. Berkurangnya fungsi kekuatn militer sebagai peralatan negara.

Dalam konteks ini, IoFC memainkan peran sebagai actor lintas negara yang menggerakkan kepentingan masyarakat sipil tanpa memandang apa negara mereka demi keinginan yang universal.

I.7 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Moleong ( dalam Herdiansyah : 2010 ) menyatakan bahwa penelitian kulaitiatif adalah penelitian ilmiah yang bertujuan memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjk penelitian, sperti perilaku, persepsi, tindakan dan sebagainya.

Model penelitian kulaitatif yang digunakan yaitu fenomenologi (Herdiansyah : 2009, 66), dengan mengangkat fenomena menganalisa peran aktor non-negara berupa IofC di dunia. Teknik pengumpulan data melalui wawancara tidak terstruktur (Herdiansyah : 2009, 125), observasi IofC Indonesia, studi pustaka, buku, jurnal dan internet. Dengan sudut pandang historis untuk menjelaskan yang terjadi dalam periode penelitian, sehingga penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Aspek Filosofis, Hukum dan Administrasi, IofC

Pembentukan Initiative of Change (seterusnya disebut sebagai IofC) dalam hukum internasional, idealnya memenuhi tiga aspek berupa aspek filosofis, hukum dan administrasi.

II.1.1 Sejarah dan Tujuan IofC

Dalam aspek filosofi, kita dapat melihat nilai-nili filosifi berdirinya IofC melalui sejarah dan tujuan pembentukkannya. Tahun 1938 saat Negara-negara Eropa mempersenjatai diri kembali dan bersiap untuk Perang Dunia II, Frank Bunchman seorang professor sebelumnya menyerukan slogan “perbaikan spiritual dan moral” yang kemudian dikenal dengan istyilah “Moral Re-Armarment (MRA)” sebagai upaya untuk membebaskan dunia dari rasa benci, ketakutan dan ketamakan.

Pengalaman pribadi Bunchman di gereja tahun 1920 membuatnya ingin menyadarkan orang lain bahwa moral sangat berpengaruh bagi karakter manusia dalam menjalin hubungan dengan masyarakat dan lingkungannya. Hal ini dimulai dengan pendekatannya pada mahasiswa di Universitas Oxford. Hingga pada akhir 1920 IofC pertama kali dikenal sebagai Oxford Group dengan konsentrsi pertama mereka untuk membantu wilayah Afrika Selatan.

Di Caux Switzerland, didirikan pusat konferensi internasional pada tahun 1946, tahun 1950 telah berdiri beberapa pusat MRA lain seperti di Amerika Latin, India, dan Jepang.

Kematian Bunchman tahun 1961, disusul kematian Peter Howard yang menggantikannya membuat krisis kepemimpinan dalam MRA yang kemudian dikembalikan pada prinsip mereka untuk mengembangkan MRA yang dimulai dari diri sendiri.

Seiring dengan perkembangan waktu, tahun 2002 berdirilah IofC Internasional juga dengan tujuan untuk menyarkan nilai cinta kasih, kejujuran keihlasan dan ketidak egosisan agar menjadi kebiasaan bagi anggota yang bergabung di dalamnya untuk memperbaiki lingkungan di sekitarnya.

II.1.2 Posisi dalam Hukum Internasional dan Administrasi

Untuk diakui dalam hukum internasional ada tiga prinsip yang harus dipenuhi oleh IofC. Pertama, yaitu adanya persetujuan internasional yang ditandai dengan instrument hukum yang jelas. IofC sendiri telah memiki pengakuan dari dunia internasional, terbukti dengan berbagai program yang diselenggarakannya di berbagai Negara.

Akan tetapi, pada dasarnya menurut Schermer ( dalam Sumaryo Suryokusumo : 132 ) suatu organisasi internasional tetap dapat diakui, walaupun tidak memiliki instrument pokok, jika ia telah dideklarasikan dan tercipta kesepakatan antar anggota-anggotanya untuk menindaklanjuti.

Adapun peran IofC sebagai subjek hukum internasional baru akan berlaku jika pihak-pihak berwenang dalam IofC mengikatkan IofC dalam instrument hukum internasional dalam kasus-kasus tertentu, seperti penghargaan IofC akan DUHAM pada PBB dan menyetujui asas-asasnya sebagai salah satu prinsip.

Kedua, paling tidak organisasi tersebut memiliki satu badan yang tidak memiliki personalitas hukum, tetapi bertindak atas nama organisasi internsional mengenai permasalahan yang menjadi konsentrasi dan tanggungjawab badan tersebut.

Secara administrative, IofC telah memiliki beberapa badan ( http://www.iofc.org/organization : 2010). Melalui pusat kesatuan yang bernama IofC Internasional terdapat beberapa badan yang mengatur IofC, diantaranya Majelis Global yang berisi perwakilan Negara-negara yang masyarakatnya menjadi anggota, yang berfungi untuk melakukan pemilihan Badan Internasional dan Presiden IofC Internasional. Selain itu, juga terdapat Badan Internasional yang mengatur perkembangan IofC dan program yang dilakukan secara internasional.

Ketiga, ada standar hokum yang dijalani oleh suatu organisasi yang mengacu pada hokum internasional. Setidaknya memiliki secretariat dan system kontribusi yang baik. Sekretariat IofC Internasional hingga saat ini di Cauz Switzerland yang di dalamnya terdapat badan-badan IofC yang berkerja secara rutin maupun dalam skala waktu tertentu.

II.2 IofC dalam Hubungan Internasional

Merujuk pada tulisan Prof. DR Sumaryo Suryokusumo (1997 : 37-40), bahwa IofC dapat digolongkan sebagai organisasi internasional privat dan juga organisasi yang bersifat universal.

Hal ini karena IofC dibentuk oleh inisiatif perorangan atau kelompok, bukan pemerintah, atau dokenal juga sebagai organisasi non-pemerintahan ( INGO ). IofC juga memenuhi ketiga criteria umum sebagai organisasi universal, yaitu universality, ultimate necessity, dan heterogeneity.

IofC bergerak dalam kegiatan yang luas dengan persyratan yang ringan bagi keanggotaannya dan tidak adanya sanksi untuk mengeluarkan anggotanya ( universality ). Siapa pun, dari usia, etnis, ras dan agama yang berbeda dapat bergabung di dalamnya.

IofC membahas isu-isu kehidupan internasional yang diperlukan oleh setiap manusia ( ultimate necessity ), seperti isu kemanusiaan, hak asasi manusia, kesetaraan gender, lingkungan, korupsi dan berbagai masalah lain.

Dengan keanggotaannya yang beragam, dinmika dalam IofC lebih beragam tetapi dengan kesempatan yang sama bagi setiap anggotanya untuk berperan dalam lingkungan domestic maupun internasional ( heterogentity ). Siapa pun dapat berkontribusi untuk mengembangkan nilai-niai IofC kepada siapa saja, di mana saja dan kapan saja.

II.3 Peran IofC dalam Dunia Internasional

Tahun 1950, ketika IofC masih berupa pergerakan MRA, berperan dalam proses rekonstruksi dan rekonsiliasi di Eropa dan mendapatkan apresiasi dan pengakuan dari pemerintah Perancis bahkan Jerman yang sempat menentangnya, dilanjutkan dengan peran serupa di Pulau Mackinac Amerika Serikat, lalu di Jepang hingga Asia Tenggara serta membantu mencegah pertumpahan darah dalanm kemerdekaan negara-negara Afrika.

Diakui oleh Hairul Umam ( 2010 ) sebagai Presiden IofC Indonesia bahwa secara histories, IofC memiliki peran yang penting dan signifikan, bukan hanya dalam proses perdamaian internasional tetapi juga hingga masalah keadilan, yang mengutamakan perubahan individu untuk mendorong perubahan global yang lebih baik, bukan hanya dalam jangka waktu yang sebentar tetapi juga dalam jangka waktu yang lama di kemudian hari.

Bukti lain yaitu peran IofC di Sierra Leon, Afrika sejak tahun 2000 hingga saat ini ( http://www.iofc.org/hope-sierra-leone : 2010 ). IofC turut membantu dalam membangun Sierra Leon yang lebih baik, karena mereka pernah merasakan akibat buruk dari terjadinya perang sipil dalam negeri. Dengan fondasi moral bagi kebijakan rekonsiliasi dan transformasinya, kampanye pemilihan umum yang bersih serta membantu terbangunnya perdamaian yang mengutamakan perdamaian.

Peran IofC dalam perdamaian yaitu melalui program Creators of Peace (CoP) yang baru-baru ini dilakukan di Rumania, Kenya, dan Kongo. Januari hingga Maret tahun ini di Indonesia akan dilakukan program CoP dan Action for Life(AfL) yang akan mengadakan diskusi dan seminar bagi mahasiswa serta pembekalan bagi perempuan-perempuan khususnya ibu rumah tangga di wilatah Tangerang Selatan (IofC-Indonesia : 2010-2011).

Isu keamanan manusia juga mulai dikonsentrasikan sejak Juli 2008. Jauh sebelumnya tahun 1973 telah dibentuk Caux Initiative for Business ( CIB 0(http://www.iofc.org/caux-initiatives-for-business ) yang merangkul para pengusaha untuk menyadari isu-isu internasional yang penting dan mendorong mereka untuk mengambangkan bisnis secara adil dan menghargai orang lain dan lingkungan yang dimulai dari kesadaran pribadi.

II.4 Analisa SWOT bagi IofC

Dalam mengukur Stength ( kekuatan ), Istilah Morgenthau dalam mengukur suatu negara beleh kita gunakan untuk mensejajarkan actor non-negara yang perannya tidak kalah penting, yaitu power atau kekuasaan, kapabilitas dan pengaruh yang dimiliki oleh actor non-negara, khususnya IofC.

Kekuasaan yang dimiliki IofC berada pada peran masyarakat sipil yang dimulai dari individu mampu menggerakkan dinamika dunia yang diisi manusia dari berbagai bangsa. Hal ini mampu menjadi basis pendekatan yang berorientasi jangka panjang dan dapat bersifat preventif dan solutif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dunia melalui program-program yang dijalankannya.

Pendekatan secara individu menjadi basis penting dan lebih efektif ketika kesadaran dimulai dari diri sendiri, karena dapat mendorong kontribusi kepada individu lainnya melalui tindakan nyata.

Weakness (kelemahan), dari mengukur kekuatan, dapat dilihat pula sebagai kelemahan. Pendekatan individu yang dilakukannya merupakan variable yang sulit untuk diukur, karena meskipun manusia pada dasarnya ingin bekerjasama, akan tetapi manusia juga memiliki pandangan, pikiran, latarbelakang dan pribadi yang berbeda-beda dan terkadang emosional dan tidak sadar, dapat dipengaruhi lingkungan.

Sehingga salah satu factor penentu kesuksesan IofC ditentukan oleh kesadaran manusia yang relatif, tetapi jika hati manusia belum tersentuh, pendekatan ini akan tidak efektif.

Kurangnya promosi dan publikasi menjadi hambatan bagi perkembangan IofC. Sehingga yang dapat dengan mudah mengakses informasi mengenai IofC hanya mereka yang terlibat di dalamnya, serta yang mencari sendiri informasinya. Hal ini perlu ditingkatkan lagi.

Cara soft-diplomasi yang dilakukan memang menghindari kekerasan, akan tetapi hal ini membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan masalah yang bersifat mendesak, sehingga IofC tidak dpat berjalan sendiri dalam menjalankannya.

Pendanaan yang berbeda-beda sumbernya di satu sisi menuntut anggotanya untuk rela berkorban dan kreatif, tetapi di sisi lain hal ini menimbulkan perbedaan atau kesenjangan antar IofC di beberapa Negara cabang, seperti misalnya di Jepang yang didanai swasta dengan di Indonesia yang asih secara swadaya.

Opportunity (kesempatan) yang dimiliki IofC adalah dengan memanfaatkan promosi dari hal termudah mulai dari mulut ke mulut hingga yang bersifat resmi. Kemajuan tekhnologi juga perlu dimanfaatkan secara maksimal, karena akses informasi sangat mudah dicari saat ini.

Soft diplomacy, mengutamakan perdamaian dan mengajak secara personal akan membuka kesempatan bagi meluasnya pengaruh IofC ke depan, bukan hanya untuk memerluas jaringan IofC sendiri, tetapi juga jaringan dengan organisasi lain yang memperjuangkan visi-misi yang sejalan dengan IofC.

Merangkul organisasi dan actor lain yang sejalan dengan IofC akan membuka kesempatan bagi IofC untuk mewujudkan tujuannya, bukan eksistensinya sebagai organisasi internasional yang mau dipandang hebat.

Threat (ancaman ) bagi IofC, dapat diingat pada tahun 1946, IofC pernah mengalami hambatan ketika akan mengajak masyarakat sipil di Jerman karena trauma mereka akan nilai-nilai yang NAZI tanamkan. Hal ini akan menjadi tantangan bagi IofC ke depan dalam menghadapi nilai-nilai atau pemahaman yang berbeda dengan masyarakat lain, seperti kelompok-kelompok ekstrim dan fundamentalis yang tertutup akan nilai-nilai baru serta kelompok yang anti akan pandangan-pandangan universal.

Selain itu, perlu dilakukan pemantauan bagi keanggotaannya meskipun bersifat lepas, tetapi perlu ada pemantauan tersendiri sehingga jaringan keanggotaannya terjaga, karena sejak 70 tahun informasi mengenai keanggotaan IofC masih sangat terbatas.

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa peran Initiative of Change (IofC) sebagai actor non-negara dalam dunia global sangat penting dalam mewujudkan perdamaian dunia global. Hal ini terbukti dengan kontribusinya dalam berbagai bidang kehidupan yang menyangkut kepentingan orang banyak tapi melalui pedekatan pribadi.

Peran IofC dalam mewujudkan tujuannya melalui soft-diplomasi perlu lebih ditingkatkan, mengingat peran ini sangat berpengaruh dalam dinamila global.

Kekuatan, dan kelemahan IofC pada dasarnya menjadi kesempatan dan tantangan bagi Initiative of Change (IofC) dalam menghadapi tantangan dan prospek di dunia global, yakni dengan meningkatkan publikasi, peran serta lebih menjaga kenaggotaannya dalam masyarakal global. Mengingat prospek ke depan yang sangat mendukung untuk perbaikan dalam era globalisasi ini